Kamis, 31 Oktober 2013

Prabowo subianto: Kita Bisa Hidup Tanpa Gedung & Mobil, Tapi Tidak Tanpa Beras, Jagung, Dan Singkong

                                        foto: Istimewa


Prabowo subianto, Lahir DI JAKARTA, 17 oktober 1951. Prabowo merupakan Cucu pejuang KEMERDEKAAN, margono Djojohadikusumo.  AYAHNYA, soemitro  Djojohadikusumo Adalah begawan Ekonomi TANAH AIR.

Sang ayah yang juga guru besar dan dekan fakultas ekonomi UI di Salemba itu telah menyumbangkan pemikiran ekonomi campuran. Menurut istilah Soekarno, Muhammad Hatta dan  Muhammad Syahrir, itu adalah Ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan seperti yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 33.

Sejak kecil Prabowo dididik sang kakek tentang perjuangan. Mencontohkan
kedua pamannya yang gugur di medan perang pada hari yang sama, 26 Januari 1946. Prabowo kecil sering diajak mengunjungi makam kedua pamannya, Subianto dan Suryono yang gugur dalam Peristiwa Daan Mogot yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot di Taman
Makam Pahlawan, Tangerang. Dari kedua sosok itulah darah nasionalisme Prabowo terbentuk.

Prabowo kecil sering disuguhi cerita wayang oleh sang kakek. Kisah Mahabharata tak asing baginya. Juga tentang Majapahit, Gajah Mada, Sriwijaya, Diponegoro, Sudirman dan Bung Karno. Itu pula yang menstimulasi lelaki ini untuk terus tumbuh nasionalismenya.

Pada tahun 1957/1958 terjadi  pergolakan ideologis di negeri ini.  PKI kala itu semakin kuat dan terjadi pertentangan antara kiri (komunis) dan kanan (agama dan pancasila). Ayah Prabowo yang anti komunis, bergabung dengan partai sosialis dan bekerjasama dengan partai tengah. Akibat itu rumahnya sempat diserang massa PKI karena dianggap anti komunis. Prabowo dan keluarga ikut PPRI ke Sumatera, dan karena PPRI kalah, mereka terpaksa mengungsi dan melanglangbuana di Singapura.

Prabowo sempat sekolah di Sekolah Inggris (saat itu Singapura masih jajahan Inggris). Prabowo juga sempat bersekolah di Sekolah Inggris di Hongkong hingga di Swiss. Sebagai satu satunya murid yang bukan kulit putih,ejekan pun kerap diterimanya.

Saat usianya masih 14 tahun, seorang teman di sekolahnya di Swiss bertanya, “Where are you come from?” Prabowo menjawab, “Im from Indonesia”. Apa jawab mereka? “Oh your people still live on trees?”

Ejekan-ejekan itu yang membangkitkan nasionalisme Prabowo. Sejak itu ia bercita-cita untuk menjadikan negerinya, Indonesia, sebagai negeri terhormat, bangsa yang bermartabat, kuat dan modern. 

Pemikiran ekonomi pancasilais sang ayah sangat melekat di benak Prabowo. Ia merupakan penentang konsep globalisasi. Menurutnya, sistem ekonomi Indonesia setelah tahun 1998 telah keblabasan. Ia bercita-cita agar Indonesia kembali ke sistem ekonomi kerakyatan. Pangan menjadi concern utamanya.

Dari awal Prabowo kerap memperingatkan penguasa, bahwa pangan harus dipandang sebagai persoalan strategis. Dan itu terbukti, dalam lima tahun terakhir harga pangannaik 30 persen. Ia berpendapat, pangan adalah masalah hidup matinya suatubangsa. “Kita bisa hidup tanpa gedung pencakar langit dan mobil, tapi tidaktanpa beras, jagung, dan singkong,” katanya.

Menurutnya, Indonesia memiliki lahan yang cukup banyak, ekosistem dan iklim yang cocok untuk pertanian. Zona negara tropis seperti Indonesia bisa tiga kali panen dalam setahun. Jika pertumbuhan pohon di negara non-tropis itu butuh 25 tahun untuk ditebang, negeri ini cukup lima tahun. Keunggulan di pertanian ini seharusnya  dikelola dengan telaten, teliti dan  komprehensif. Produksi pangan jangan diserahkan ke pasar, apalagi sampai ketergantungan impor. Sebab, katanya, sejak dulu bangsa lain datang dan mengambil kekayaan Indonesia.

Prabowo optimis Indonesia mampu mengulang kejayaan di masa swasembada pangan. Saat itu banyak bangsa asing belajar ke Indonesia mengenai bimas, bulog, dan swasembada. Yang perlu dilakukan ialah membina petani dan penyuluh di setiap desa. Menghidupkan kembali Koperasi Unit Desa (KUD). Serta perbaikan sarana pertanian seperti irigasi dan distribusi pupuk.

Pupuk yang saat ini dibuat oleh pabrik pupuk milik negara modal kerjanya juga berasal dari rakyat. Sayangnya, distributornya malah perusahaan asing.

Koperasi seharusnya digalakkan kembali sebagaimana zaman Soeharto. Menurut Prabowo, koperasi adalah alat pemerataan, memperkuat yang lemah. Tapi bukan berarti melemahkan perusahaan swasta. Sesuai paham pancasila, swasta tetap dipersilahkan maju, dan sektor yang lemah diberdayakan melalui koperasi. Swasta, BUMN, dan koperasi dapat bergerak bersama-sama seperti di Negara Korea, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan China.

Ketahanan pangan yang memprihatinkan itu mendorong Prabowo untuk masuk ke dalam agar bisa mengubah keadaan. Pengertian politik yang dipelajarinya dari Miriam Budiarjo  adalah keinginan untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Dengan masuk ke dalam politik, maju untuk rakyat, maka dapat meminta mandat kepada rakyat untuk berkuasa.

Selain sisi nasionalis dan disiplin,  sosok yang dikenal sebagai mantan menantu Soeharto dan Danjen Kopassus ini juga penyuka binatang. Ia kerap menunggang kuda disela-sela kesibukannya. Baginya, kuda adalah lambang keberanian. Di rumahnya di bukit Hambalang ia juga memelihara berbagai burung, ikan serta tanaman.


Dan karena lahir di masa heroisme, sejak kecil Prabowo sudah menyukai sejarah serta bercita-cita menjadi tentara. Pasca 1998 namanya sempat redup, namun Prabowo adalah sosok yang banyak bersyukur. Sebab baginya pangkat hanyalah ‘sampiran’.

Ke Depan Impor Sapi Akan Lebih Besar


                                                                            foto: lst 
Kebijakan  impor sapi untuk Menekan Harga daging sapi yang tinggi di pasaran Diharapkan mampu memberdayakan Peternak lokal ke depan.  Mengingat, Kebijakan importasi kerap kali membuat Jatuh Harga sapi di tingkat Peternak Lokal.  Apalagi Jelang idul adha Ini, Peternak lokal diharapkan bisa Mendapat keuntungan lebih besar Setelah importasi yang Menggila itu.

Saya pikir ke depan impor kita akan makin besar. Makanya impor  sapi bakalan agar
diprioritaskan untuk dipelihara kelompok peternak atau koperasi. Itu agar mereka menikmati nilai tambah di dalam negeri,” kata Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Budiana pada Agrofarm.

Ia mengemukakan, meningkatnya permintaan dan kebutuhan, dipicu lantaran jumlah populasi sapi lokal yang makin berkurang. Sekitar 12 juta ekor kekurangan itu. Ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang sangat memungkinkan jika importasi ke depan akan semakin besar. Untuk itu pemerintah sudah harus mulai serius merancang pola perubahan tersebut. Peternak juga harus diberi kesempatan untuk melakukan penggemukan sapi yang diimpor.

“Kalau mekanisme importasi dilepas liberal begitu sudah pasti  para pemodal besar yang menikmati  keuntungan. Kita harus mulai berpikir kompensasi. Peternak lokal yang melakukan penggemukan. Secara teknis kami siap,” ujar Teguh.

Menurut dia, sapi lokal harus menjadi tulang punggung dalam memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri. Sedang importasi sapi bakalan sebagai pendukung saja, dan impor daging berkualitas sebagai penyambung.  Dengan demikian, pemerintah benar-benar memiliki prioritas.

Teguh menyatakan, pasca diterbitkannya Keputusan Menteri Perdagangan No 699 Tahun 2013 dimana sekitar 109 ekor sapi diharuskan dilepas oleh feedlotter, maka harga daging sapi saat ini sudah turun. Dari  sebelumnya sekitar Rp 37.500 per kg menjadi Rp 33-35 ribu per kg berat hidup.

Selain itu, para pejagal juga  cenderung mencari sapi yang ada di feedlot. Itu karena harganya lebih rendah daripada sapi lokal.  Ujungnya akan berpengaruh pada penurunan harga daging sapi di peternak lokal.


Teguh menyebut, harga daging sapi lokal memang lebih mahal. Itu dinilainya sesuatu yang wajar lantaran tidak memiliki kandungan pengawet apapun seperti halnya daging sapi impor. “Peternak lokal kita tidak melakukan penggemukan. Sedangkan kalau sapi impor itu memang diberi hormon tertentu. Ini yang perlu diketahui konsumen, bahwa sapi lokal mahal memang wajar ibaratnya produk organik,” ujarnya.  Dian Yuniarni

Terbesar Impor Dari China, Disusul Jepang & Thailand


Dr. Suryamin, M.Sc, Kepala badan Pusat Statistik

                                                    foto: Bimo

Barang impor Bukan Main Banyaknya masuk  ke negeri ini. Dari bahan Baku, Produk Jadi dan olahan. Ada ratusan jenis komoditas yang  didatangkan dari negara lain untuk  kebutuhan negeri ini. Untuk impor non-migas terbagi dalam 27 kelompok besar, yang Jika ditelaah, harusnya bisa dihasilkan dalam  negeri. 


menyikapi importasi yang sangat tinggi itu, berbagai kebijakan pemerintah belum mengarah mensubstitusi barang impor, apalagi untuk menciptakan kemandirian. Alokasi anggaran yang kecil dan terbiarkannya infrastruktur diantaranya, adalah indikasi yang mengarah ke sana.

Ini kian diperparah dengan tidak padunya kementerian. Antar-menteri saling tuding jika timbul masalah, dan lebih rumit lagi, karena masingmasing kementerian punya data yang berbeda-beda.

Agrofarm mewawancarai Dr. Suryamin, M.Sc, Kepala Badan Pusat Statistik, untuk mendapatkan gambaran lain dari importasi ini. Kendati datanya juga beda dengan data yang ada di kementerian, tetapi setidaknya itu dapat memperkaya pemahaman kita untuk menyimak apa yang sedang dan kelak terjadi. Inilah lengkapnya.


Berdasarkan hasil sensus pertanian BPS tercatat terjadi penurunan Rumah Tangga Petani dari 31,17 juta di tahun 2003 menjadi 26,13 juta di tahun 2013. Bagaimana tanggapan Anda terkait ini?
Ini semua tergantung dari konsekwensi kemajuan ekonomi. Data BPS memang terjadi penurunan selama 2003-2013. Dari hasil sensus pertanian yang sudah kami lakukan meliputi enam sub sektor yakni tanaman, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan  termasuk jasa pertanian.

Berdasarkan angka sementara usaha pertanian di Indonesia tahun 2013 sebesar 26,13 juta rumah tangga usaha pertanian, atau mengalami penurunan sebesar 0,54 persen dibanding tahun 2012. Walaupun menurun jumlah usaha pertanian, produktivitas sektor pertanian meningkat. Bisa dilihat  persentasi penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari 40,61 juta orang di 2004 atau 43,33 persen menjadi 39,96 juta orang atau 35,05 persen.

Penurunan ini karena penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian beralih ke sektor lain. Terjadi penurunan ini,  artinya negara itu berkembang dan maju. Secara teori ada perubahan dari sektor pertanian ke sektor primer dan sekunder. Ini  merupakan siklus yang normal. Mudah-mudahan akhir tahun ada profilnya yang lengkap  bagaimana sesungguhnya enam sub sektor yang saya sebutkan.

Sementara untuk produksi, misalnya saja produksi padi, naik dari 52,14 juta ton di tahun 2003 menjadi 69,27 ton di tahun 2013, atau mengalami pertumbuhan sebesar 3,29 persen per tahun.


Bagaimana pandangan Anda terhadap sektor pertanian di Indonesia saat ini?
Sektor pertanian saat ini potensinya masih luas, masih besar untuk dikembangkan lagi. Saya melihat sektor tanaman pangan, padi masih bisa ditingkatkan lagi. Dari ramalan BPS 0,31 persen melonjak menjadi 10 persen. Harus ada upaya yang keras, karena ini menyangkut penggunaan lahan yang subur. Walaupun ada pencetakan lahan sawah tapi tidak bisa melonjak cepat. Perlu beberapa tahun ke depan, dan perlu waktu menjadikan lahan yang subur. 

Untuk sektor perkebunan, peternakan seperti sapi potensi pasti ada. Potensi peternakan sapi dan kerbau ada di rumah tangga. Kepemilikan sapi  sesuai sensus yang kami lakukan hanya 14,2 juta rumah tangga. Memang per rumah tangga tidak besar, tapi totalnya besar.  Sub sektor perikanan perlu digali, baik itu penangkapan dan pengolahannya, juga budidaya ikan. Sub sektor pertanian kaitannya ke industri. Industrialisasi perlu teknologi. Perlunya stimulus,  bagaimana agar petani bergairah menanam, seperti perlunya insensif, fasilitas, benih, lahan baru. Intinya, peluang kita  masih ada,  dan mindset masyarakat juga harus diubah agar cinta produksi dalam negeri.


Apa dampak melonjaknya nilai tukar rupiah dengan mata uang dolar terhadap komoditas pertanian di dalam negeri?
Ini tergantung kualitas dari produk yang bisa bersaing. Ada dua sisi saya melihat, dan ini bisa menjadi peluang. Komoditi-komoditi yang ada harus mampu bersaing dengan komoditi impor, sehingga komoditi kita juga bisa masuk ke pasar ekspor.  Namun, harus dipikirkan jangan harga jual petani sampai turun.


Mengapa Indonesia masih tergantung pada produk pertanian impor?
Kembali pada kualitas. Tapi secara kualitas produksi kita tidak kalah dengan produk luar. Hanya saja kenapa harga kita lebih mahal. Ini kembali pada proses, mulai dari biaya produksi sampai hasil. Pola panen juga harus dilihat karena ini menyangkut keberadaan hasil pertanian. Disini pentingnya pengendalian harga pada saat paceklik. Begitu juga pada waktu surplus,  untuk komoditikomoditi tertentu harus ada yang mengendalikan. Fungsi stabilisator harga sangat penting agar tidak terjadi gejolak. Disamping itu infrastruktur dalam  mengelola pertanian perlu dibenahi agar pertanian kita bisa bersaing di dalam negerinya sendiri. Ongkos produksi juga bagian dari sensus. Dan akhir tahun ini akan tahu seperti apa gambarannya.


Berapa besar volume produk pertanian Indonesia saat ini, dan negara-negara mana saja yang paling besar produk pertaniannya diimpor Indonesia?
Disini masuk kategori  impor non-migas. Impor non-migas  di bulan Agustus 2013 mencapai 9,36 miliar dolar AS atau turun 29,49 persen dibanding Juli 2013. Sementara bila  dibanding impor Agustus 2012 turun  10,84 persen. Impor migas Agustus 2013 mencapai 3,67 miliar dolar AS atau turun 11,41 persen dibanding Juli 2013. Sebaliknya bila dibanding impor Agustus 2012 naik 10,66 persen  Secara kumulatif nilai impor Januari–Agustus 2013 mencapai 124,86 miliar dolar AS atau turun 1,39 persen jika dibanding impor periode yang sama tahun 2012. Impor nonmigas mencapai 94,95 miliar dolar AS atau turun 4,20 persen.

Negara pemasok barang impor non-migas terbesar selama Agustus 2013 ditempati oleh China dengan nilai 2,00 miliar  dolar  AS (21,37 persen), Jepang 1,35 miliar dolar AS (14,39 persen) dan Thailand 0,75 miliar  dolar AS (7,99 persen). Impor non-migas dari ASEAN mencapai pangsa pasar 21,13 persen, sementara dari Uni Eropa 9,34 persen.

Setahun terakhir volume impor pertanian 2012 itu jika dibandingkan total non- migas  sebesar 11 persen dengan nilai  16,8 miliar dolar AS.


Jenis produk  pertanian apa saja yang impor?
Dari data BPS ada  27 kelompok besar, seperti binatang hidup, sapi hidup, ikan, dan udang. Daging pertama dari Australia, kedua New Zealand. Ikan dan udang terbesar dari China dan kedua dari Kanada. Impor yang besar untuk gandumganduman, Kedua ampas, yang ketiga gula, dan kacang-kacangan. Untuk  susu Metanga telur dari Swis. Pohon
hidup, sayuran, dan buah-buahan  dari China.  Kopi dan rempahrempah dari Vietnam. Gandum ganduman Australia, dan India. Hasil penggilingan Dari Thailand, Kedua Srilanka, biji-bijian berminyak dari Amerika, kedua India. Getah dan damar Dari China. Bahan-bahan nabati impor Dari Vietnam. Lemak, minyak Hewan dari Malaysia. Daging dan ikan
Olahan dari Malaysia. Gula dan kembang Gula dari Thailand, Dan kedua Dari Brazil. Kakao Dari Malaysia.

Untuk olahan, sayur-mayur juga, dan makan olahan  juga impor  dari
China.  Minuman  dari Malaysia. Ampas impor dari  Argentina, tembakau, kayu, gabus, jerami dan anyam-anyaman  impor dari China.


Apa  solusi yang Anda tawarkan agar Indonesia bisa menjadi negara yang berdaulat pangan?
Harus ada penataan di sektor ini. Petani, peternak supaya  memproduksi lebih baik, diberikan kemudahan, insensif, modal, lahan, bibit, pestisida, distribusi atau pemasaran lancar, agar harganya tidak jauh  beda dengan harga di kota.  Dan, pada saat panen jangan sampai harga jatuh, pertanian kita harus modern, harus punya coldstorage.  Bantuan ini yang perlu, karena ketika komoditi tidak musin tetap ada.  Ini harus dipikirkan. Indonesia luas, lahannya harus dimanfaatkan  untuk apa. Ini perlu di-update, dan ini, upaya-upaya relokasi penduduk agar jangan di Jawa melulu.  Koridorkoridor yang dibangun pemerintah saya rasa cukup bagus karena sudah konsen ke luar Jawa.


Apa sih sebenarnya kendala utama sektor pertanian belum bisa maju seperti negara lain?
Pertambahan penduduk, sementara lahan pertanian  pindah ke anak-anaknya. Petumbuhan penduduk  tidak sejalan dengan pertambahan lahan. Makanya luas lahan di petani terus menurun. Pencetakan lahan baru tidak banyak dilakukan sehingga lahan pertanian menurun. Intinya saya melihat, luas  lahan per petani tetap. Seperti contoh lahan yang dimiliki petani 10 hektar dibagi kesepuluh anaknya, setiap anak hanya punya 1  hektar.


Seperti apa BPS dalam melaksanakan sensus, mengingat data BPS tidak sinkron dengan data instansi atau lembaga lainnya?
Dalam menjalankan sensus tidak jalan sendiri. Mengapa  data BPS sering tidak sama, karena BPS  menjalankan statistik dasar yang akan dipakai secara umum, dan massal. Kalau sudah spesifik dan sektoral harus hati-hati. Baik itu dari sampelnya, berapa yang diamati harus hati-hati. Untuk tahun ini BPS masih ada 2 sensus lagi, dan seperti yang saya katakan, akhir tahun kami akan merilis 6 sub sektor mencakup pertanian.  yosi winosa/irsa fitri


Viva Yoga Mauladi: Program Swasembada Cuma Lips Service



                                 foto: Bimo

Ironis. Itu Mungkin kata yang tepat menggambarkan Bagaimana indonesia sebagai negara agraris Harus tergantung kepada impor dalam memenuhi Kebutuhan Pangannya. Potensi lahan yang luas,   Tenaga kerja yang besar dan letak geografis Di wilayah  dua iklim, tak mampu menghadirkan Produksi Pangan yang mencukupi Bagi rakyatnya.


Bahkan, UU Pangan yang diundangkan untuk  membatasi impor hanya bagus di atas meja, tetapi tetap jadi pepesan kosong di tataran implementasi. Apa yang salah dari kebijakan pertanian kita?

Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PAN Viva Yoga Mauladi, M.Si  melihat tidak adanya keberpihakan pemerintah dalam memajukan sektor pertanian menjadi alasan utama kenapa Indonesia harus mengandalkan impor  untuk memenuhi kebutuhan pangannya. “Keberpihakan kepada sektor pertanian hanya sebatas lip service ,” ucap Viva  pada Agrofarm.

Bisa dikatakan, apa yang direncanakan, berbeda dengan realisasi di lapangan. Tak heran, bila dari lima komoditas yang ditarget swasembada pada tahun depan,  hanya beras saja yang mendekati sasaran. Itu pun masih tetap impor dengan alasan untuk mengisi  kebutuhan stock. Komoditas lain, mulai dari gula, kedelai, daging dan jagung harus didatangkan dari sejumlah negara produsen.

“Pemerintah memang tidak pernah serius mengelola pertanian. Anggaran  sektor pertanian tidak pernah memenuhi yang dibutuhkan. Parahnya, dengan  anggaran yang minim, optimalisasi juga menjadi sesuatu yang sulit. Dimana-mana terjadi inefiesiensi,” kritik Viva.

Total ekspor Indonesia sepanjang delapan bulan pertama 2013 tercatat sebesar USD 127,09 miliar, turun 6,12 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar USD 119,32 miliar. Khusus sektor pertanian, Indonesia menghasilkan devisa ekspor sebesar USD 3,86 miliar, turun 2,3 persen dibanding periode yang sama tahun 2012 yang tercatat sebesar USD 3,57 miliar.

Sementara impor Indonesia antara Januari-Agustus 2013 tercatat sebesar USD 124,84 miliar, turun 1,39 persen  dibanding periode yang sama tahun lalu yang tercatat USD 123,12 miliar. Sektor pertanian berkontribusi terhadap impor mencapai USD 5,96 miliar.

Politisi  PAN asal daerah  Jatim X yang meliputi  Kabupaten Lamongan dan Gresik ini  menyesalkan minimnya anggaran yang dialokasikan  pada Kementerian Pertanian,  garda terdepan untuk mengurusi  petani dan nelayan. Disebutkan, anggaran Kementerian Pertanian tahun 2011 mencapai Rp 17,7 triliun, naik tipis menjadi Rp 17,76 triliun di 2012, namun merosot di 2013 menjadi  Rp 16,42 triliun. Tahun depan, Kementan hanya dapat alokasi anggaran sebesar Rp 15,47 triliun,  dibanding total anggaran belanja yang mencapai  Rp 1.816,7 triliun.“Itu bukti bahwa sektor pertanian tidak jadi prioritas,” tegas Viva.

Sebagai perbandingan, di  era pemerintahan Soeharto  sektor pertanian mendapat prioritas anggaran yang cukup besar. Di tahun 1981-82, anggaran sektor pertanian mencapai 17 persen dari total alokasi anggaran. “Sekarang kecil sekali. Tak sampai dua persen. Bandingkan dengan sektor pendidikan yang dapat jatah 20 persen,” katanya.

Dengan alokasi anggaran yang minim, tak heran bila berbagai program yang dijalankan pemerintah tidak pernah terealisasi. “Beras, jagung, daging, kedelai dan gula semuanya akhirnya  harus  diimpor karena  produksi di dalam negeri tak mampu memenuhinya. Tidak ada upaya untuk
mencapai ke sana,” katanya.

Untuk memajukan sektor pertanian, anggaran setidaknya harus mendekati 10 persen dari APBN. Menyelesaikan masalah impor tidak bisa dilakukan bagai membalik telapak tangan. Butuh waktu, sumber dana dan kesiapan infrastruktur yang baik. “Sekarang ini semua parah. Saluran irigasi dan bendungan sudah  tidak terurus, anggaran subsidi banyak tidak tepat sasaran karena programnya tambal sulam,” katanya.

Menurutnya, untuk mencapai produksi  pertanian butuh ketepatan dalam pengalokasian subsidi. “Untuk pengalokasian subsidi, baik subsidi pupuk, bibit dan alat-alat pertanian harus dilakukan tepat. Baik tepat waktu, tepat takaran dan  yang terpenting tepat sasaran,” tegasnya.

Maraknya impor telah menyebabkan terkurasnya devisa negara. Padahal, bila pengelolaan pertanian bisa dilakukan  secara baik, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan pangannya tanpa harus melakukan impor. “Ribut-ribut soal impor sapi dan kedelai bukti lemahnya political will pemerintah untuk memajukan sektor  pertanian,” paparnya.  iin achmad

Tembakau Pun Impor

 Ir.Enny Ratnaningtyas, MS,
Direktur Minuman dan Tembakau Direktorat Industri Agro



                                                                                  foto: lst
Ketergantungan  bahan Baku impor masih Cukup besar di  industri agro.  Kondisi  Ini tak lepas dari bahan Baku lokal yang Tidak tersedia Secara berkesinambungan.  Seperti bahan industri Baku untuk Minunam ringan dan susu. Bahkan industri  Rokok Juga  impor tembakau, khususnya Tembakau virginia. Impor ini tentu menjadi  Keprihatinan semua pihak. Sementara yang Namanya industri tidak bisa berhenti Berproduksi.
"Saya  akui industri, khususnya di agro, bahan baku minuman sari buah, susu, impornya cukup tinggi. Susu kita impor hampir 75  persen dari total kebutuhan industri yang  ada saat ini. Apalagi populasi sapi perah saat ini tinggal 20 persen, karena melonjaknya harga daging, peternak lebih untung jual daging daripada susu. Yang sangat saya sayangkan, sapi-sapi bunting kecil  disembelih, dan ini kan
dilarang di undang-undang Peternak,” ujar Enny Ratnaningtyas, Direktur Minuman dan Tembakau Kemenperin menjawab Agrofarm, di  Jakarta. 

Begitu juga pure untuk minuman ringan sari buah juga masih impor. Ini semua, kata Enny, karena bahan baku yang ada di lokal tidak mampu mencukupi kebutuhan industri. “Yang namanya agro tentu menggunakan Sumber Daya Alam (SDA). Ini  menjadi tantangan tersendiri bagi industri untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku. Disamping itu anomali cuaca juga mempengaruhi ketersediaan bahan baku. Bahan baku tidak ada yang continue. Yang menjadi pertanyaan, mengapa harga impor lebih murah dari harga local,” katanya.

Khusus untuk industri minuman ringan yang menjual sari buah, saat  ini dalam kondisi kesulitan bahan baku. Ini terkait dengan adanya larangan impor hortikultura. Impor hortikultura tidak sebebas dulu. Sekarang melalui rekomendasi Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan terakhir di Kementerian Pedagangan. Sementara pure lokal speknya tidak bisa memenuhi kebutuhan industri. 

Bagi industri minuman sari buah skala besar tidak begitu kesulitan, karena untuk memenuhi kebutuhan pure-nya, industri besar bisa mendapatkannya dari importir terdaftar. “Yang menjadi masalah di industri menengah. Tentu  menjadi masalah karena mereka membeli secara on the spot,”tandas Enny.

Meski demikian, kata Enny melemahnya rupiah terhadap dollar, berdampak pada efisiensi. Kini industri minuman sari buah yang besar  melirik bahan baku lokal.

Dalam pertemuan cluster buah  beberapa waktu lalu industri besar meminta penghasil pure lokal bergerak membuat, dan pure-nya sudah sesuai dengan spek yang dibutuhkan. Dalam pertemuan cluster buah itu, penghasil pure lokal dibimbing untuk memproduksi pengolahan buah yang baik. “Mudahmudahan ini bisa berjalan sehingga industri minuman
buah mau memakai pure lokal,” kata Enny lagi.

Begitu juga dengan kopi instan. Melemahnya rupiah terhadap dollar, sedikit banyak menguntungkan produsen kopi instan lokal. Kata Enny, di Indonesia banyak juga produsen kopi instan lokal.  Dengan naiknya dollar, membuat industri kopi instan  yang biasa impor kopi instan mau tak mau menggunakan kopi instan lokal.

“Naiknya dollar ini tentu  ada industri berbasis agro  yang diuntungkan. Dan ada juga yang sedikit merugi. Yang namanya agro tentu menghasilkan produk pangan, tentu tidak mudah untuk menaikkan harga di pasar. Ada ketakutan konsumennya akan lari ke produk lain yang sejenis,” imbuh Enny.

Enny berharap dengan kondisi rupiah yang melemah, ekspor bisa digenjot. Namun, untuk menunju eskpor, banyak industri kesulitan. Pasalnya banyak aturan-aturan  kepabeanan yang ada saat ini menghambat ekspor. Untuk itu  perlu diatur secara ulang agar industri mampu membawa produk yang dihasilkan ke pasar ekspor. “Keadaan rupiah yang melemah, menjadikan beban industri semakin berat, apalagi dengan kenaikan UMP”. Enny juga mengakui,  produkpoduk jadi berbasis Pangan banyak Juga yang diimpor. Seperti produk susu, Seperti susu untuk kebutuhan Bayi khusus, susu  khusus untuk orang tua, dan minuman kaleng impor.

“Produk susu jadi ini, sengaja tidak Diolah di dalam negeri, karena pasarnya khusus. Jika diolah disini  menjadi tidak efisien. Makanya, untuk produk-produk Complementer ini, Masuk lewat
Rekomendasi impor,” ujar Enny.

Enny juga menghimbau agar impor produk-produk complementer dikurangi. Jika bahan baku lokal  mampu membuat produk seperti  itu, kenapa tidak dibuat saja dengan menggunakan bahan baku lokal. Sebab dengan mengurangi impor produk jadi, sedikit  banyak akan mengurangi  defisit neraca perdagangan.

Menurut data Kementerian Perindustriam, untuk bahan baku susu Indonesia impor  75 persen dari kebutuhan  susu  nasional yang mencapai 9 juta  ton. Susu lokal hanya  menghasilkan susu 690 ribu ton, dan menghasilkan sepertiga dari kebutuhan susu nasional.

Untuk tembakau virginia produksi Indonesia khususnya di wilayah NTB menghasilkan tembakau sekitar 50 ribuan ton. Sedang kebutuhan industri rokok 110-120 ribu ton.  irsa fitri


Ke Depan Impor Sapi Akan Lebih Besar

Kebijakan  impor sapi untuk Menekan Harga daging sapi yang tinggi di pasaran Diharapkan mampu memberdayakan Peternak lokal ke depan.  Mengingat, Kebijakan importasi kerap kali membuat Jatuh Harga sapi di tingkat Peternak Lokal.  Apalagi Jelang idul adha Ini, Peternak lokal diharapkan bisa Mendapat keuntungan lebih besar Setelah importasi yang Menggila itu.

Saya pikir ke depan impor kita akan makin besar. Makanya impor  sapi bakalan agar
diprioritaskan untuk dipelihara kelompok peternak atau koperasi. Itu agar mereka menikmati nilai tambah di dalam negeri,” kata Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Budiana pada Agrofarm.

Ia mengemukakan, meningkatnya permintaan dan kebutuhan, dipicu lantaran jumlah populasi sapi lokal yang makin berkurang. Sekitar 12 juta ekor kekurangan itu. Ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang sangat memungkinkan jika importasi ke depan akan semakin besar. Untuk itu pemerintah sudah harus mulai serius merancang pola perubahan tersebut. Peternak juga harus diberi kesempatan untuk melakukan penggemukan sapi yang diimpor.

“Kalau mekanisme importasi dilepas liberal begitu sudah pasti  para pemodal besar yang menikmati  keuntungan. Kita harus mulai berpikir kompensasi. Peternak lokal yang melakukan penggemukan. Secara teknis kami siap,” ujar Teguh.

Menurut dia, sapi lokal harus menjadi tulang punggung dalam memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri. Sedang importasi sapi bakalan sebagai pendukung saja, dan impor daging berkualitas sebagai penyambung.  Dengan demikian, pemerintah benar-benar memiliki prioritas.

Teguh menyatakan, pasca diterbitkannya Keputusan Menteri Perdagangan No 699 Tahun 2013 dimana sekitar 109 ekor sapi diharuskan dilepas oleh feedlotter, maka harga daging sapi saat ini sudah turun. Dari  sebelumnya sekitar Rp 37.500 per kg menjadi Rp 33-35 ribu per kg berat hidup.

Selain itu, para pejagal juga  cenderung mencari sapi yang ada di feedlot. Itu karena harganya lebih rendah daripada sapi lokal.  Ujungnya akan berpengaruh pada penurunan harga daging sapi di peternak lokal.


Teguh menyebut, harga daging sapi lokal memang lebih mahal. Itu dinilainya sesuatu yang wajar lantaran tidak memiliki kandungan pengawet apapun seperti halnya daging sapi impor. “Peternak lokal kita tidak melakukan penggemukan. Sedangkan kalau sapi impor itu memang diberi hormon tertentu. Ini yang perlu diketahui konsumen, bahwa sapi lokal mahal memang wajar ibaratnya produk organik,” ujarnya. Dian Yuniarni

Rabu, 30 Oktober 2013

70% Bahan Baku Mamin Impor

Adhi S. lukman,                        foto: Bimo  

PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN  MASIH TERGANTUNG DENGAN BAHAN BAKU IMPOR. BAHKAN HAMPIR 70 PERSEN SEMUANYA  MASIH DIIMPOR. HAL INI DISEBABKAN OLEH MINIMNYA PRODUKSI DAN PASOKAN BAHAN BAKU LOKAL. 

Menurut  Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia  (GAPMMI) Adhi S. Lukman,  impor bahan baku tidak menjadi masalah asalkan produk lanjutannya diproses di Indonesia sehingga value added-nya  bisa berada di Indonesia.

“Seperti gandum kan tidak bisa ditanam di Indonesia. Tetapi produk lanjutannya seper ti roti, kue bisa diproses disini sehingga value addednya bisa dinikmati,”jelas Adhi pada Agrofarm di Jakarta.

Menurut Adhi,  bahan baku yang masih tersedia di dalam negeri, para  pelaku industri makanan dan minuman  diminta untuk menggunakan bahan baku lokal.

Adhi memperkirakan impor makanan dan minuman (mamin) yang mayoritas berupa bahan baku hingga akhir tahun ini bisa mencapai USD 7 miliar atau sekitar Rp 66 triliun, karena minimnya pasokan dari dalam negeri. “Impor bahan baku pada tahun ini  menyentuh USD 7 miliar, naik 16,6% dibandingkan realisasi tahun lalu sebesar USD 6 miliar. Minimnya pasokan bahan baku seperti gandum, membuat produsen harus mengimpor dari negara lain,” jawab Adhi.

Adhi berharap pemerintah fokus di sektor hulu apabila tidak ingin impor terus meningkat. “Bahan  baku produsen makanan dan minuman nasional saat ini sekitar 70% di antaranya masih diimpor. Tingginya impor bahan baku itu bisa mempengaruhi harga jual produk makanan dan minuman olahan di pasar domestik,” jelasnya.

Adhi juga menjelaskan, kalau saat ini mendorong produsen terus mengembangkan inovasi guna meningkatkan daya saing dan menekan impor barang konsumsi termasuk makanan dan minuman. Bahkan, dilihat dari sisi produsen tentu pihaknya harus meningkatkan inovasi produk. Dan ini harus dilakukan terus karena tanpa inovasi industri ini akan berhenti.

Produsen, kata Adhi, harus mampu  memanfaatkan sumber daya yang ada  di dalam negeri dengan mengemas dan memprosesnya menjadi produk yang unik dan tidak pasaran.

Diferensiasi inovasi, menurut Adhi, penting untuk mendorong daya saing di tengah gencarnya impor. Produsen perlu mewaspadai dan menyiasati persaingan itu dengan terus berinovasi dalam pengembangan produk. Selain itu, produsen juga perlu melakukan efisiensi guna meningkatkan daya saing produk yang menurun akibat beban biaya produksi.

hilirisasi  Industri
Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto, MM  mengakui tingginya impor bahan baku untuk industri agro.  Panggah, melihat pertumbuhan industri mamin terus meningkat, dan ini tentu mengakibatkan peningkatan impor bahan baku.

Untuk mengurangi impor bahan baku, menurut mantan Dirjen BIM ini, perlu peningkatan program hilirisasi sektor industri nasional. Pasalnya, pangsa pasar produk berbasis agro  cukup besar, dan ini mendorong tumbuhnya permintaan bahan tambahan pangan.

Panggah menjelaskan, saat ini Kementerian Perindustrian tengah menggenjot ekspor,  terkait dengan pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika. Hambatan-hambatan dalam  ekspor ini tengah dibahas, seperti  masalah sertifikasi. Karena negaranegara lain sudah melakukan sertifikasi untuk mengamankan produk lokalnya.

“Dengan sertifikasi, diharapkan kita bisa mengurangi impor. Dan di tengah kondisi rupiah saat ini industri sedang berusaha mengurangi defisit neraca perdagangan dengan mengurangi impor. Dan dalam pertemuan dengan kalangan pengusaha ekspor kemarin pemerintah mendorong industri melakukan ekspor untuk produk-produk terbaik,”papar Panggah pada Agrofarm di Jakarta.


Peluang ekspor ini, kata Panggah masih sangat besar, karena dengan membaiknya perekonomian Amerika, dan Eropa. irsa fitri

Fadel Muhammad: Pemerintah Tidak Berpihak Pertanian Lokal

foto: Bimo

Ketua Umum Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) Fadel Muhammad mengatakan,Indonesia mempunyai potensi agribisnis dan agroindustri sangat besar. Untuk itu perlu dukunganbagi pengembangan di tingkat lokal. Tidak ada alasan harga produk pertanian lokal lebih mahal dbandingkan harga produk pertanian impor. “Harga kita cukup kompetitif dan murah dibandingkan produk impor,” ujarnya.

Akan tetapi, dibuka keran impor dan petani dibiarkan seperti sekarang. Maka lama-kelamaan produk pertanian lokal mati dan sulit berkembang. “Intinya kita harus membendung produk pertanian impor yang membanjiri pasar. Saat ini kita membiarkan pangan impor masuk ke Indonesia,” tegasnya pada Agrofarm.

Padahal, katanya, Indonesia mempunyai keunggulan, yakni musim yang baik untuk menanam tanaman pangan. Bayangkan dahulu Iran negara terbesar pengimpor gandum di dunia, sekarang negara itu menjadi pengekspor gandum terbesar di dunia. Negara itu memprioritaskan untuk meningkatkan produksi pangan, karena tidak ingin komoditas pangan berasal dari impor. Untuk itu, Indonesia harus belajar dari Iran untuk menyetop impor pangan.

“Ada alasan musti impor karena produksi pangan dalam negeri tidak cukup. Itu kebohongan publik dan manipulasi data. Jadi harus ditumbuhkan semangat, bahwa pangan  lokal harus dikembangkan dan tidak ada alasan untuk impor,” ungkap Fadel ketika berdiskusi di kantornya.

Fadel mencontohkan, pemerintah terlalu mudah memberikan izin impor produk hortikultura dan pangan. Kebijakan ini memiliki implikasi yang buruk bagi pertanian dalam negeri. Kebijakan impor menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap pertanian lokal.


Menurutnya, pemerintah membela petani dengan membatasi impor karena impor bukanlah solusi yang dapat menyelesaikan masalah pangan Indonesia. “Impor adalah solusi jangka pendek, bukan solusi final,” tukasnya.

Isran Noor: Ketergantungan Impor Harus Dihentikan

                               foto: Bimo

Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten  Seluruh Indonesia (Apkasi) Isran Noor mengatakan, lahan pertanian di Jawa sudah banyak beralihfungsi menjadi perumahan dan pabrik. Kalau sekarang  tidak ada kemauan politik dari pemerintah pusat, maka bupati atau walikota tidak bisa mengerem konversi lahan pertanian.

Isran menambahkan, Pulau Jawa adalah lahan pertanian paling produktif untuk produksi pangan nasional. Konversi lahan di Jawa setiap tahun sekitar puluhan ribu hektar. Salah satu cara mengatasinya adalah melakukan ekstensifikasi lahan di luar Pulau Jawa. “Potensinya ada di daerah Kalimantan, Sumatera dan Papua,” katanya.

“Ada kekeliruan dalam kebijakan pangan yakni pada tahun 1984 ketika terjadi swasembada beras. Semua wilayah di Indonesia itu disuruh mengkonsumsi nasi. Dahulunya penduduk Ambon dan Papua makan sagu, disuruh mengkonsumsi beras dan daerah Nusa Tenggara Timur masyarakatnya makan jagung diganti makan beras. Akibatnya volume konsumsi beras semakin besar,” ungkapnya.

Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah harus melakukan kebijakan diversifikasi pangan. Misalnya di daerah Depok ada program one day no rice dan itu musti dicontoh di setiap daerah di Indonesia.

Untuk memperbaiki tata niaga di sektor pertanian, Apkasi berencana mengaktifkan terminal agrobisnis, untuk memfasilitasi transaksi pertanian dan pangan antar daerah. “Saat ini para bupati dan walikota sepakat memperbaiki pembangunan pertanian, dan ada 57 ribu penyuluh yang siap membantu petani,” katanya.

Isran menyebutkan, ketergantungan impor pangan dan hortikultura harus mulai dihentikan. Kemudian, pertanian dan pangan lokal dikembangkan. Jika dahulu terminal agrobisnis yang mempertemukan produsen pangan dan pasar, maka saat ini perlu diaktifkan kembali sehingga potensi lokal lebih berkembang dibandingkan produk impor.

Dalam terminal agrobisnis, konsumen bisa membeli hasil panen petani, karena terminal menjadi ajang jual-beli, sekaligus edukasi dan konseling bagi petani. Selain itu, di daerah terminal agrobisnis, juga akan disertai pembentukan balai koordinasi penyuluh (bakorluh) untuk petani yang
ingin berkonsultasi.  beledug bantolo


Faiz Achmad: Rupiah Terpuruk, Industri Ketar-ketir


Pertumbuhan industri sebesar 7,74 persen pada tahun 2012 belum diiringi  pasokan bahan baku dalam negeri. Akibatnya, industri impor bahan baku yang cukup banyak. Sementara hasil pertanian Indonesia sifatnya musiman, sementara industri kebutuhannya bersifat harian. Inilah yang menyebabkan Indonesia masih tergantung pada produk impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

Persoalan bahan baku yang dihadapi industri sudah sering terjadi. Alihalih pelaku Industri mengimpor Bahan baku Untuk diolahMenjadi produk. Apresiasi Dolar terhadap rupiah, setidaknya
membuat industri sedikit ketar-ketir. Apalagi Indonesia Masih impor Gandum sebesar 96 persen.

“Situasi ini kita harapkan jangan berlangsung lama. Pasalnya bahan baku  impor yang distok untuk  beberapa bulan ke depan  masih mampu memenuhi kebutuhan. Namun jika keadaan ini cukup lama, jelas akan memukul industri,” jelas Ir. Faiz Achmad, MBA, Direktur Makanan dan Hasil Laut Perikanan, Kemenperin pada Agrofarm di Jakarta. 

Faiz menjelaskan, bahwasanya impor masih banyak dilakukan industri, khususnya industri makanan, karena laju pertumbuhan industri terus meningkat, sementara di hulu belum mampu mengikuti laju industri. ”Hasil pertanian kita hanya segitu-segitu saja, dan  tidak ada yang swasembada. Jadi mau tidak mau untuk bahan baku, industri  makanan impor,” imbuh Faiz.

Impor untuk memenuhi industri makanan, perikanan dan hasil laut adalah  gandum impor  6 juta ton, gula dalam bentuk  raw sugar 3 juta ton, jagung 1,5 sampai 2 juta ton, kedelai yang 85 persen untuk industry tahu tempe  impor 1,5 -1,8 juta ton,  tepung tapioka 200 ribu ton, daging sapi beku untuk industri sosis, bakso impor  20 ribu ton,  kakao yang impor dari  Ghana,  Puerto Rico masih impor, hanya saja impornya sangat kecil. Karena kakao tersebut untuk dikombinasi dengan kakao lokal yang menghasilkan cita rasa.


Ikan lemuru untuk kebutuhan sarden  juga impor. Bahkan, jika terjadi anomali cuaca bisa impor lebih banyak. “Kita pernah impor cukup besar,’tandas Faiz.  irsa fitri

Adi Sasono: Negara Kalah Hadapi Mafia Pangan

                                                                                   foto: lst



Saat ini indonesia dibanjiri Produk Pangan impor. Ini ironi. Pemerintah cenderung kalah dengan Mafia Pangan.  Jika tidak ingin kian terpurik, pemerintah harus membuat Stok Pangan nasional dan  memperbaiki tata niaga.




Ketua Dewan Pembina Masyarakat Agrobisnis Indonesia (MAI) Adi Sasono mengatakan, saat ini terjadi ironi di sektor pertanian. Indonesia pernah sukses mewujudkan swasembada, tetapi sekarang justru sebaliknya impor pangan. “Dahulu kita swasembada kedelai, malah sekarang bergantung pada kedelai impor mencapai 70 persen. Di tahun 1998, tidak ada impor jagung dan beras, sekarang justru impor,” ujarnya.

Menurutnya, ketidakpedulian pemerintah menyebabkan terjadinya  penurunan kinerja pertanian dan pangan. Permasalahan pertanian tidak hanya pada budidaya, namun tata niaga. Baru-baru ini harga kedelai naik menjadi Rp 8.500 per kilogram (Kg). Tiga bulan lalu panen di PD Jaya harga jualnya Rp 5.000 per Kg. Padahal ongkos dari PD Jaya ke Jakarta hanya Rp 800 per Kg. Ini terjadi lantaran ada informasi yang tidak simetris.

Sekarang dibutuhkan sistem informasi pertanian untuk mengetahui kapan waktu tanam, stok pangan, dan harga. Ini mampu mengurangi peranan tengkulak yang biasa menindas petani. Petani pun terkadang sudah terikat oleh sistem ijon. Pemerintah harus mempunyai stok minimum 10% dari kebutuhan nasional. “Produksi beras 30 juta ton, dan minimal di gudang  Perum Bulog sebanyak 3 juta ton,” tambahnya.

Adi menyebutkan, di negara-negara Asean saja rata-rata minimal 20% untuk stok pemerintah. Bahkan di Thailand sampai 60%. Jadi kalau terjadi kelangkaan, pemerintah bisa terjun menstabilkan harga. Permasalahan sekarang, pemerintah Indonesia tidak memiliki stok.

Menurutnya, di Indonesia terjadi namanya kelangkaan semu, yakni kelangkan yang dibuat-buat. Barangnya ada, disimpan, baru dijual ketika barang langka. Begitu juga pada komoditas daging sapi, pemerintah putus asa untuk menanggulangi harga, lalu diserahkan semuanya boleh impor sapi.

Dia menambahkan, sapi impor datang tidak langsung dipotong dirumah pemotongan hewan (RPH),  tapi sedikit demi sedikit dipotong agar harganya tinggi. Kelangkaan itu diciptakan. Jika pemerintah mempunyai stok, langsung bisa digelontorkan ke masyarakat. Tugas pemerintah untuk membela kaum masyarakat kecil.

“Ada kecenderungan pemerintah kalah dengan importir dan kartel pangan. Buktinya sekarang harga kedelai masih mahal, padahal harga pokok kedelai hanya Rp 5.000 per Kg,” tukasnya.

Di Aceh bisa memproduksi 2 ton per hektar (ha) dan harga pokoknya hanya Rp 1.200 per Kg. “Masalah produksi memang harus ditingkatkan. Namun mendesak sekarang pemerintah harus menguasai tata niaga dan membuat stok untuk mengurangi resiko kelangkaan,” paparnya.

Menurutnya, ini aneh. Negara tidak berdaya menghadapi mafia pangan. Ini menyengsarakan rakyat. Di sektor budidaya masalah kelangkaan benih, pupuk dan pestisida sering diusut tapi tidak ada hasilnya. Jadi petani ketika masuk musim tanam benihnya tidak ada dan pupuk terlambat, padahal produksi berjalan terus. “Permainan ini, tidak bisa dibuktikan secara hukum,” tukasnya.

Apalagi, kata Adi, produk pangan impor mutunya rendah. Jagung dan kedelai itu di asal negaranya untuk feedmilk dan pakan ternak. Gagalnya pencapaian target pemerintah untuk swasembada  padi, kedelai, jagung, gula dan daging sapi tahun 2014 itu bukan masalah produksi dan kemampuan. Sebab, katanya, pada abad 14 yang lalu peradaban Sriwijaya itu berasal dari surplus pertanian. Ketika itu tidak ada HPH, minyak dan gas dan Bank Dunia. Buktinya mampu menguasai Asia Tenggara. Begitu pula Kerajaan Majapahit menjadi besar karena pertanian. Kedatangan VOC itu juga mengembangkan pertanian.

Menurutnya, Indonesia sudah merdeka, mempunyai teknologi, semestinya jauh lebih hebat dibandingkan yang dicapai oleh Sriwijaya, Majapahit maupun Belanda ketika menjajah. Kalau tidak berhasil bukan faktor objektif, namun karena ketidakmampuan untuk mengelola sektor pertanian. “Ini mengakibatkan target swasembada pangan tidak bakal terwujud pada tahun 2014,” tandasnya.

Ada masalah besar yang dihadapi di sektor pertanian. Keterlambataan
pupuk dan benih ketika masuk masa tanam itu terkait anggaran di Kementerian Keuangan. Masalah tata niaga juga akibat longgarnya impor pangan di Kementerian Perdagangan.“Jadi masalah utamanya ada di antara kementerian,” tambahnya.

Menurutnya, ke depan  untuk membangun pertanian harus dimulai dengan semangat kebangsaan. Agar bangsa ini tidak menjadi bangsa pecundang dalam urusan pangan, tetapi bangsa yang harus berdaulat pangan. Apalagi sekarang Indonesia mengalami defisit pangan karena lebih besar impor dibandingkan ekspor pangan.

Dari Swasembada hingga Impor Menggila



                                                                  foto: lst
Semua serba impor. Kapan Indonesia tidak impor dan mandiri dalam pangan?  Jawabannya di era Soeharto. Pada 1984 Indonesia dinyatakan mandiri dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri atau mencapai swasembada pangan. Organisasi Pangan Dunia (FAO) pun mengundang Soeharto untuk menerima penghargaan. Salah satu prestasi yang pernah diterima Soeharto di kancah internasional.

Dikutip dari laman Soeharto centre, Direktur Jenderal FAO Edouard Saouma mengundang Soeharto bicara pada forum dunia, 14 November 1985. Organisasi pangan dan pertanian PBB meminta Soeharto berbagi pengalaman Indonesia dalam upaya menaikkan tingkat produktivitas dengan mencapai tingkat swasembada pangan. Oleh FAO, Soeharto dijadikan lambang perkembangan pertanian internasional.

Kondisi tersebut memang berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi saat ini. Di mana pemerintah selalu mengandalkan pasokan luar negeri untuk kebutuhan di dalam negeri. Sejumlah komoditas pangan tak luput dari program impor.  Agrofarm merangkum komoditaskomoditas yang berjaya di era Soeharto,namun kini harus mengandalkan impor.


1. Kedelai
Indonesia pernah berada di puncak kejayaan kedelai di era kepemimpinan Presiden Soeharto yakni 1992 dan1993. Namun pada 1998 saat Indonesia dilanda krisis, IMF menyarankan Indonesia untuk melakukan pasar bebas. Kedelai pun mulai diimpor dengan harga mengikuti pasarglobal.

Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan sebenarnya Indonesia bisa kembali ke masa kejayaan kedelai pada 1992. Syaratnya konsisten pada aturan Perpres 32 tahun 2013. Dalam beleid ini diatur HJP (Harga Jual Pengrajin) serta dibatasinya kuota impor.


2. Beras
Pada 1969, Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras. Namun, pada 1984 melonjak hingga 25,8 juta ton. Strategi Soeharto saat itu menitikberatkan pada usaha intensifikasi dengan menaikkan produksi terutama produktivitas padi pada areal yang telah ada. Pemerintah mencetak tenaga penyuluh pertanian, membentuk unit-unit koperasi untuk menjual bibit tanaman unggul, menyediakan pupuk kimia dan juga insektisida untuk membasmi hama. Sistem pengairan diperbaiki dengan membuat irigasi ke sawah-sawah sehingga banyak sawah yang semula hanya mengandalkan air hujan, bisa  ditanami pada musim kemarau dengan memanfaatkan sistem pengairan.

Lain dulu lain sekarang. Tingginya konsumsi beras di masyarakat tidak dibarengi produksi yang maksimal.Lihat saja realisasi impor beras yang dilakukan oleh Perum Bulog sepanjang 2012 yang mencapai 670.000 ton. Realisasi pengadaan beras di dalam negeri selama satu tahun sebesar 3,664 juta ton. Anomali iklim yang ekstrem selalu dijadikan kambing hitam menurunnya produksiberas nasional.


3. gula
Industri gula merupakan salah satu industri sektor perkebunan tertua di negeri ini. Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada dekade tahun 1970-1980. Indonesia juga tercatat sebagai raja ekspor gula sekitar tahun 1957.

Pada satu dekade terakhir, industri gula memang mengalami pasang surut. Cerita kejayaan Indonesia soal produksi gula tersebut, kini tinggal cerita. Secara perlahan, produksi gula nasional berangsur-angsur menyusut. Data dua tahun terakhir menunjukkan tingkat produksi yang belum maksimal. Pada 2010 produksi gula hanya mencapai 1,38 juta ton, kemudian turun ke angka 1,36 juta ton pada 2011. Tahun ini pemerintah menargetkan produksi gula hingga 1,85 juta ton.

Sejalan dengan itu, pemerintah mulai rajin mendatangkan gula yang diproduksi negara lain agar Indonesia semakin manis. Bahkan, pemerintah mulai rajin mendatangkan gula yang diproduksi negara lain. Swasembada gula sebesar 5 juta ton tahun 2014, seolah jauh panggang dari api. PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang ditunjuk pemerintah sebagai pengawal produksi gula lokal, tak berdaya mencapai target  swasembada gula. PT RNI dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) bahkan angkat tangan, menyerah dengan target tersebut.


4. Daging Sapi
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, terjadi swasembada daging sapi dengan jalan ternak sapi untuk mengatasi kelangkaan daging sapi. Sekitar tahun 1971 presiden yang berkuasa 32 tahun ini meresmikan Peternakan Sapi Tapos, yang terletak di Bogor, Jawa Barat. Peternakan Tapos ditargetkan sebagai tempat pembibitan sapi yang hasilnya dapat didistribusikan ke daerah-daerah. Lokasi peternakan Sapi Tapos terletak di Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi dan di Desa Sukamantri, Kecamatan Tamansari, Bogor yang dimiliki oleh PT Rejosari Bumi.

Pada saat itu, Soeharto mendirikan Tapos untuk membangun peternakan yang mandiri, dalam rangka membantu pemerintah dalam pengembangan ternak besar. Di areal ini dikembangbiakkan sapi potong dan sapi perah, mulai dari pembibitan hingga penggemukan sapi, dengan teknologi modern untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri sekaligus meningkatkan kualitas, pengembangan teknologi dan SDM.

Dikatakan lewat Tapos bukan suatu cara yang benar. Memang, tahun 70-an kita pernah menjadi eksportir daging sapi dan kerbau. Tapos gak lah itu belakangan, kata Pengamat peternakan dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Khudori.

Tapi sekarang, Indonesia sangat tergantung pasokan daging dari Australia. Jika pasokannya tersendat, maka hampir dipastikan harga daging secara perlahan merangkak naik. Kebijakan impor daging seolah tidak bisa dihindari.

Kuota impor daging sapi pada tahun ini sekitar 34.000 ton yang dibagi ke semester I sebanyak 20.400 ton dan semester II 13.600 ton. Namun, pemerintah menggeser kuota impor semester II ke semester I sebanyak 5.600 ton sehingga kuota pada semester II hanya tersisa 8.300 ton.


5. garam
Indonesia tercatat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Sepanjang garis pantai Indonesia tersimpan potensi garam yang cukup besar. Namun pemerintah tetap bergantung pada garam impor.

Tingginya angka kebutuhan garam di dalam negeri, memaksa pemerintah membuka keran impor garam, termasuk garam konsumsi. Berdasarkan analisa neraca kebutuhan garam konsumsi tahun 2012, yang pehitungannya didasarkan sisa stok produksi tahun 2011,masih defisit atau kekurangan 533, 096 ton. Kebutuhan garam konsumsi secara nasional mencapai 1,4 juta ton per tahun. Pemerintah terpaksa harus melakukan impor, guna memenuhi kebutuhan pasar nasional untuk garam konsumsi.  Dian Yuniarni