Selasa, 05 November 2013

Ditekan Uni Eropa Ekspor Sawit Melorot


Minyak sawit mendapat tekanan. Uni Eropa mengeluarkan aturan tentang provisi informasi makanan ke konsumen. Mewajibkan semua jenis minyak nabati yang digunakan dicantumkan tersendiri pada labelnya. Aturan itu mulai berlaku tanggal 13 Desember 2014. Imbasnya, ekspor CPO ke Uni Eropa mulai turun.   
foto:lst

Saat ini banyak perusahaan di Eropa sudah melakukan itu. Pada labelnya dicantumkan secara jelas “palm oil” di antara nama minyak jenis lain. Contoh label seperti itu sudah ditemukan di Inggris dan Belanda. “Para konsumen yang terkena pengaruh tidak menyukai minyak sawit tidak akan membeli atau mengkonsumsi makanan,” tandas Derom Bangun Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).

DMSI mencatat ada penurunan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa. Pada bulan Agustus minyak sawit mentah (CPO) yang diekspor sebanyak 130.000 ton dan produk turunannya sebesar 140.000 ton. Penuruann ekspor terjadi pada produk turunan CPO karena bulan sebelumnya mencapai 150.000 ton.

Menurutnya, sudah terjadi pembedaan antara sawit dengan minyak nabati yang lain. Itu setelah Uni Eropa mengeluarkan peraturan baru tentang provisi informasi makanan kepada konsumen (EU law on the provision of food information to consumers). Ini sudah disetujui oleh Dewan Uni Eropa pada tanggal 29 September 2013 dan mulai berlaku 13 Desember 2014.

Akibatnya, di beberapa Negara Eropa permintaan produk makanan mulai menurun. Persaingan dengan minyak nabati lain semakin kentara. Minyak bunga matahari mulai menggeser minyak kedelai di wilayah Afrika utara, Iran dan India.

Sekarang Ukrania serta Rusia menjadi produsen minyak nabati di dunia.”Ini mempengaruhi supply and demand minyak nabati dunia, dan harga minyak nabati dunia mulai turun,” ungkapnya. Derom mengatakan, negative campaign sawit dari negara Uni Eropa belum mempengaruhi pasar di India dan China. Akan tetrapi, aspek keberlanjutan harus tetap diperkuat. Semua perkebunan sawit rakyat dan perusahaan sawit besar wajib mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Ini penting agar industri sawit tidak mudah dikritik oleh negara luar.

India tidak mempermasalahkan isu lingkungan. Namun problemnya pada penerapan Bea Keluar (BK) CPO dari Indonesia yang tinggi. BK CPO progresif industri refinery di India kalah bersaing dengan industri refinery Indonesia. Untuk itu India lebih suka impor produk turunan CPO daripada CPO. “Imbasnya pabrik-pabrik refinery disana jadi tidak beroperasi atau menganggur,” tukasnya.

Derom menambahkan, pada akhirnya pengusaha india mencari peluang untuk membeli bahan baku alternatif dari minyak bunga matahari agar industri refinery dapat beroperasi kembali. Minyak bunga matahari itu dari Ukrania dan Rusia. “Jadi ke depan akan mengimpor bunga matahari, dan otomatis bakal mengurangi impor minyak sawit dari Indonesia,” ujar Derom.

DMSI memprediksi produksi CPO tahun ini mencapai 27 juta ton, naik dari tahun lalu sebesar 25,7 juta ton. Tahun 2013 ada kenaikan 9% dari tahun 2012, namun beberapa bulan belakangan ini beberapa perusahaan tidak mencapai target produksi sawitnya. “Faktor penurunan produksi akibat perubahan cuaca. Pada musim kering lalu, malah terjadi hujan Imbasnya, penyerbukan antara bunga jantan dan betina itu tidak sempurna,” tandasnya.

Wakil Ketua III DMSI, Delima Hasri Azhari menambahkan, Uni Eropa telah menerapkan EU Directive dan EU Labeling yang berlaku tahun depan. Setiap perusahaan wajib mencantumkan produknya, sumber minyak nabati yang digunakan seperti jagung, rapeseed, sawit dan soybean.

Kebijakan itu tanpa sengaja Eropa telah melakukan black campaign terhadap sawit. Ini ditunjukkan pada label atau kemasan produk makanan dengan tulisan logo palm free atau tidak mengandung minyak sawit. Selain itu, katanya, minyak sawit juga tidak bisa digunakaan untuk bioenergi di Eropa. Minyak sawit tidak berkelanjutan dan tidak memenuhi standar renewable energy, di dalam aturan EU Directive.

Delima mengungkapkan, sekarang sudah ada upaya dari pemerintah untuk membantu advokasi dan promosi minyak sawit Indonesia. DMSI meminta lebih banyak lagi pemerintah melakukan hal ini, karena tidak bias promosi dan advokasi dilakukan satu atau dua tahun sekali. Semestinya ada perwakilan Indonesia yang ditugaskaan benar-benar untuk mempromosikan minyak sawit di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di luar negeri.

Promosi dan advokasi harus dilakukan terus-menerus. Langkah itu bukan untuk meng-counter kampanye  negatif sawit yang dilancarkan lembaga swadaya masyarakat, namun untuk memberikan informasi, bahwa sawit telah melaksanakan ISPO. “Bahwa sawit Indonesia, dari produksi, konsumsi, kualitas dan mutunya aman bagi kesehatan dan lingkungan,” tambahnya.

Sulitnya memperoleh dana dari negara untuk pengembangan minyak sawit dari BK, Delima mengusulkan agar setiap kementerian yang terkait dengan industri ini (Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Riset dan Teknologi, BKPM maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mengalokasikan dana khusus untuk pengembangan industri sawit.

Dia mencontohkan, Kemendikbud membuat buku untuk sekolah dasar yang berisi informasi industri sawit bermanfaat bagi rakyat dan bangsa. Lantas Kemenristek mengeluarkan dana untuk biaya riset dan teknologi sawit. “Ini penting untuk membiayai para peneliti sawit membuat jurnal internasional dan ikut serta dalam forum-forum internasional untuk menangkal negative campaign sawit,” tuturnya.

Menurutnya, industri yang maju harus didukung penelitian. Industri sawit masih lemah dalam hal penelitian. Industri sawit nilainya mencapai USD 20 miliar per tahun ini belum didukung oleh dana penelitian.

“Padahal, jika produksi dihitung 30 persen saja dari USD 20 miliar, berarti ada USD 6 miliar. Dan jika tersedia 1 persen saja dari biaya produksi, itu USD 60 juta atau setara Rp 660 miliar per tahun. Dana penelitian sebaiknya tersedia dari APBN dan juga dari perusahaan-perusahaan sawit,” katanya. Kendati, tambahnya, perusahaan-perusahaan sawit telah melaksanakan kegiatan penelitian secara intern, terutama menyangkut peningkatan produksi dan pencegahan hama penyakit.


“Untuk mendapatkan hasil penelitian yang kredibel dan diakui oleh dunia internasional, pelaksanaan penelitian tidak cukup dilakukan sendiri oleh Indonesia. Perlu juga bekerjasama dengan pusat penelitian di luar negeri yang memiliki reputasi internasional,” pungkasnya. beledug bantolo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar