Minyak sawit mendapat tekanan. Uni Eropa mengeluarkan aturan tentang provisi informasi makanan ke konsumen. Mewajibkan semua jenis minyak nabati yang digunakan dicantumkan tersendiri pada labelnya. Aturan itu mulai berlaku tanggal 13 Desember 2014. Imbasnya, ekspor CPO ke Uni Eropa mulai turun.
foto:lst
Saat ini banyak
perusahaan di Eropa sudah melakukan itu. Pada labelnya dicantumkan secara jelas
“palm oil” di antara nama minyak jenis lain. Contoh label seperti itu sudah
ditemukan di Inggris dan Belanda. “Para konsumen yang terkena pengaruh tidak
menyukai minyak sawit tidak akan membeli atau mengkonsumsi makanan,” tandas Derom
Bangun Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).
DMSI mencatat
ada penurunan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa. Pada bulan Agustus minyak sawit
mentah (CPO) yang diekspor sebanyak 130.000 ton dan produk turunannya sebesar 140.000
ton. Penuruann ekspor terjadi pada produk turunan CPO karena bulan sebelumnya
mencapai 150.000 ton.
Menurutnya,
sudah terjadi pembedaan antara sawit dengan minyak nabati yang lain. Itu
setelah Uni Eropa mengeluarkan peraturan baru tentang provisi informasi makanan kepada konsumen (EU
law on the provision of food information to consumers). Ini sudah disetujui
oleh Dewan Uni Eropa pada tanggal 29 September 2013 dan mulai berlaku 13
Desember 2014.
Akibatnya, di
beberapa Negara Eropa permintaan produk makanan mulai menurun. Persaingan
dengan minyak nabati lain semakin kentara. Minyak bunga matahari mulai menggeser
minyak kedelai di wilayah Afrika utara, Iran dan India.
Sekarang Ukrania
serta Rusia menjadi produsen minyak nabati di dunia.”Ini mempengaruhi supply
and demand minyak nabati dunia, dan harga minyak nabati dunia mulai turun,”
ungkapnya. Derom mengatakan, negative campaign sawit dari negara
Uni Eropa belum mempengaruhi pasar di India dan China. Akan tetrapi, aspek keberlanjutan
harus tetap diperkuat. Semua perkebunan sawit rakyat dan perusahaan sawit besar
wajib mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yaitu Indonesia
Sustainable Palm Oil (ISPO). Ini penting agar industri sawit tidak mudah
dikritik oleh negara luar.
India tidak
mempermasalahkan isu lingkungan. Namun problemnya pada penerapan Bea Keluar
(BK) CPO dari Indonesia yang tinggi. BK CPO progresif industri refinery di
India kalah bersaing dengan industri refinery Indonesia. Untuk itu India lebih
suka impor produk turunan CPO daripada CPO. “Imbasnya pabrik-pabrik refinery disana
jadi tidak beroperasi atau menganggur,” tukasnya.
Derom
menambahkan, pada akhirnya pengusaha india mencari peluang untuk membeli bahan
baku alternatif dari minyak bunga matahari agar industri refinery dapat
beroperasi kembali. Minyak bunga matahari itu dari Ukrania dan Rusia. “Jadi ke
depan akan mengimpor bunga matahari, dan otomatis bakal mengurangi impor minyak
sawit dari Indonesia,” ujar Derom.
DMSI memprediksi
produksi CPO tahun ini mencapai 27 juta ton, naik dari tahun lalu sebesar 25,7
juta ton. Tahun 2013 ada kenaikan 9% dari tahun 2012, namun beberapa bulan belakangan
ini beberapa perusahaan tidak mencapai target produksi sawitnya. “Faktor
penurunan produksi akibat perubahan cuaca. Pada musim kering lalu, malah
terjadi hujan Imbasnya, penyerbukan antara bunga jantan dan betina itu tidak
sempurna,” tandasnya.
Wakil Ketua III
DMSI, Delima Hasri Azhari menambahkan, Uni Eropa telah menerapkan EU
Directive dan EU Labeling yang berlaku tahun depan. Setiap
perusahaan wajib mencantumkan produknya, sumber minyak nabati yang digunakan
seperti jagung, rapeseed, sawit dan soybean.
Kebijakan itu
tanpa sengaja Eropa telah melakukan black campaign terhadap sawit. Ini
ditunjukkan pada label atau kemasan produk makanan dengan tulisan logo palm
free atau tidak mengandung minyak sawit. Selain itu, katanya, minyak sawit juga
tidak bisa digunakaan untuk bioenergi di Eropa. Minyak sawit tidak berkelanjutan
dan tidak memenuhi standar renewable energy, di dalam aturan EU
Directive.
Delima
mengungkapkan, sekarang sudah ada upaya dari pemerintah untuk membantu advokasi
dan promosi minyak sawit Indonesia. DMSI meminta lebih banyak lagi pemerintah melakukan
hal ini, karena tidak bias promosi dan advokasi dilakukan satu atau dua tahun
sekali. Semestinya ada perwakilan Indonesia yang ditugaskaan benar-benar untuk
mempromosikan minyak sawit di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di luar negeri.
Promosi dan
advokasi harus dilakukan terus-menerus. Langkah itu bukan untuk meng-counter
kampanye negatif sawit yang
dilancarkan lembaga swadaya masyarakat, namun untuk memberikan informasi, bahwa
sawit telah melaksanakan ISPO. “Bahwa sawit Indonesia, dari produksi, konsumsi,
kualitas dan mutunya aman bagi kesehatan dan lingkungan,” tambahnya.
Sulitnya
memperoleh dana dari negara untuk pengembangan minyak sawit dari BK, Delima
mengusulkan agar setiap kementerian yang terkait dengan industri ini
(Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Keuangan, Kementerian Riset dan Teknologi, BKPM maupun Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan) mengalokasikan dana khusus untuk pengembangan industri sawit.
Dia
mencontohkan, Kemendikbud membuat buku untuk sekolah dasar yang berisi
informasi industri sawit bermanfaat bagi rakyat dan bangsa. Lantas Kemenristek mengeluarkan
dana untuk biaya riset dan teknologi sawit. “Ini penting untuk membiayai para
peneliti sawit membuat jurnal internasional dan ikut serta dalam forum-forum
internasional untuk menangkal negative campaign sawit,” tuturnya.
Menurutnya,
industri yang maju harus didukung penelitian. Industri sawit masih lemah dalam
hal penelitian. Industri sawit nilainya mencapai USD 20 miliar per tahun ini
belum didukung oleh dana penelitian.
“Padahal, jika
produksi dihitung 30 persen saja dari USD 20 miliar, berarti ada USD 6 miliar.
Dan jika tersedia 1 persen saja dari biaya produksi, itu USD 60 juta atau
setara Rp 660 miliar per tahun. Dana penelitian sebaiknya tersedia dari APBN
dan juga dari perusahaan-perusahaan sawit,” katanya. Kendati, tambahnya, perusahaan-perusahaan
sawit telah melaksanakan kegiatan penelitian secara intern, terutama menyangkut
peningkatan produksi dan pencegahan hama penyakit.
“Untuk
mendapatkan hasil penelitian yang kredibel dan diakui oleh dunia internasional,
pelaksanaan penelitian tidak cukup dilakukan sendiri oleh Indonesia. Perlu juga
bekerjasama dengan pusat penelitian di luar negeri yang memiliki reputasi
internasional,” pungkasnya. beledug bantolo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar