Selasa, 05 November 2013

Kejar Penurunan BM Lima Persen CPO Harus Masuk Produk Ramah Lingkungan



foto:lst

Perlambatan perekonomian dunia telah menyebabkan laju ekspor-impor antar negara mengecil. Permintaan produk komoditas pertanian juga menurun yang mendorong anjloknya harga.




Pemerintah Indonesia harus berjuang menjadikan komoditas kelapa sawit, baik Crude Palm Oil (CPO) maupun sejumlah produk turunannya masuk dalam komoditas pertanian yang ramah lingkungan. Itu agar bea masuk impor sebesar lima persen turun, dan produk CPO semakin punya daya saing di Amerika Serikat dan Uni Eropa.

“Pemerintah harus berani memasukkan minyak kelapa sawit ke dalam daftar produk ramah lingkungan yang mendapat pengurangan tarif hingga 5 persen dalam forumforum perdagangan internasional, termasuk pertemuan APEC,” ucap anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Golkar, Siswono Yudhohusodo di Jakarta.

Kondisi ekonomi Amerika Serikat yang tengah loyo seharusnya membuat diplomasi Indonesia lebih percaya diri dalam menekan Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk melonggarkan pasar mereka bagi Crude Palm Oil (CPO). “Apalagi, Indonesia sebagai tuan rumah APEC harus berinisiatif membawa kepentingan Indonesia dalam lobbylobby perdagangan internasional,” pintanya.

Perjuangan penurunan bea masuk bagi produk kelapa sawit menjadi sangat penting karena Indonesia telah menjadi produsen terbesar dunia dalam produksi kelapa sawit sejak lima tahun terakhir. Investor di bidang ini juga banyak yang berasal dari Amerika dan Eropa. Indonesia, lanjut Siswono, masih mengungguli Malaysia untuk produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

Tahun ini produksi CPO Indonesia mencapai 25 ton sementara Malaysia baru 18,9 juta ton.“Dengan fakta yang demikian, sepatutnya CPO mendapat pelonggaran,” ujarnya
Siswono.

Bagi Indonesia, ekspor CPO menjadi pendorong utama kinerja ekspor non-migas pada Mei 2013. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Mei 2013 ekspor lemak dan minyak hewan/nabati Indonesia naik USD 311,9 juta, dari USD 1.400,4 juta pada April 2013 menjadi USD 1.712,3 juta.

Perlambatan ekonomi dunia yang ditandai oleh tingginya inflasi, merosotnya nilai tukar mata uang Negara Asia terhadap USD, dan naiknya harga bahan baku industry telah menurunkan daya beli negara Asia. Kondisi ini telah menekan pasar CPO dunia yang terus tergerus sejak Juni 2013.

Meski kinerja ekspor CPO Indonesia sepanjang delapan bulan pertama 2013 tumbuh 18,6 persen disbanding periode yang sama tahun lalu, yakni dari 11,54 juta ton di 2012 menjadi 13,69 juta ton di 2013, produk ekspor CPO Indonesia terus menurun sejak Juni 2013 akibat perlambatan ekonomi Indonesia. Terakhir data ekspor CPO Agustus 2013 tercatat 1,48 juta ton, turun 6,9 persen dibanding bulan sebelumnya yang masih tercatat sebesar 1,59 juta ton.

“Turunnya volume ekspor CPO dan turunannya pada bulan Juli disebabkan turunnya permintaan dari Amerika Serikat (AS), negara Uni Eropa, dan beberapa negara Asia,” ujar Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadil Hasan.

Selain perlambatan ekonomi dunia, panen raya rapeseed dan biji bunga matahari di negeri Paman Sam menyebabkan permintaan terhadap minyak sawit sebagai bahan pengganti berkurang cukup drastis yaitu sebesar 69 persen dari 59,87 ribu ton menjadi 18,41 ribu ton. Hal ini juga diikuti oleh negara Uni Eropa yang mengurangi pembelian minyak sawit sebesar persen dari 370,29 ribu ton menjadi 359,23 ribu ton.

Permintaan minyak sawit dari Bangladesh dan Pakistan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan karena tekanan ekonomi dan telah usainya hari raya Idul Fitri. Beruntung, perdagangan minyak sawit ke India dan China mulai bergeliat dengan ditandai kenaikan permintaan walaupun tidak signifikan.

China tercatat meningkatkan impor minyak sawitnya sebesar delapan persen dari 157,34 ribu ton menjadi 170,30 ribu ton. Sedangkan India hanya mencatat satu persen kenaikan dari 346,51 ribu ton menjadi 349,69 ribu ton.

Dari sisi harga, sepanjang Agustus masih relatif stagnan di antara USD 820 - USD 855 per metrik ton. Harga sempat tercatat naik di akhir pekan ketiga dan awal pecan keempat di kisaran USD 850 - USD 870 per metrik ton. Namun, harga kembali terjerembab pada akhir minggu keempat sampai pada pertengahan September di kisaran USD 815 - USD 840 per metrik ton.

Harga CPO diharapkan dapat terdongkrak oleh cuaca kering dan panas akhir-akhir ini di jantung penghasil kedelai di Amerika Serikat yang diperkirakan Oil World akan menurunkan panen sebesar tiga persen. Akan tetapi rapeseed dan biji bunga matahari sedang panen raya di negara Eropa, Kanada dan Ukraina sehingga harga untuk kedua komoditi ini menjadi rendah dan negara Amerika serta Eropa lebih memilih komoditi ini.

Dengan kondisi yang seperti ini akan sangat sulit bagi CPO mengalami kenaikan harga di pasar global. Apalagi menjelang akhir tahun merupakan bulan panen raya untuk
kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia.

Pasar CPO diprediksi relatif stagnan sepanjang September dan Oktober. Pada sisi pasokan, stok CPO Indonesia dan Malaysia diperkirakan akan mulai meningkat sampai Desember.

Harga CPO diperkirakan tidak akan menunjukkan trend kenaikan yang berarti seiring meningkatnya stok CPO Indonesia dan Malaysia. Pasar CPO dunia akan lebih tertekan lagi karena menyongsong panen kedelai di Brazil, Argentina dan Amerika yang segera dimulai. Iin achmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar