foto:lst
Perlambatan perekonomian dunia telah menyebabkan laju ekspor-impor antar negara mengecil. Permintaan produk komoditas pertanian juga menurun yang mendorong anjloknya harga.
Pemerintah Indonesia
harus berjuang menjadikan komoditas kelapa sawit, baik Crude Palm Oil (CPO)
maupun sejumlah produk turunannya masuk dalam komoditas pertanian yang ramah
lingkungan. Itu agar bea masuk impor sebesar lima persen turun, dan produk CPO
semakin punya daya saing di Amerika Serikat dan Uni Eropa.
“Pemerintah
harus berani memasukkan minyak kelapa sawit ke dalam daftar produk ramah
lingkungan yang mendapat pengurangan tarif hingga 5 persen dalam forumforum perdagangan
internasional, termasuk pertemuan APEC,” ucap anggota Komisi IV dari Fraksi
Partai Golkar, Siswono Yudhohusodo di Jakarta.
Kondisi ekonomi
Amerika Serikat yang tengah loyo seharusnya membuat diplomasi Indonesia lebih
percaya diri dalam menekan Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk melonggarkan
pasar mereka bagi Crude Palm Oil (CPO). “Apalagi, Indonesia sebagai tuan
rumah APEC harus berinisiatif membawa kepentingan Indonesia dalam lobbylobby perdagangan
internasional,” pintanya.
Perjuangan
penurunan bea masuk bagi produk kelapa sawit menjadi sangat penting karena
Indonesia telah menjadi produsen terbesar dunia dalam produksi kelapa sawit
sejak lima tahun terakhir. Investor di bidang ini juga banyak yang berasal dari
Amerika dan Eropa. Indonesia, lanjut Siswono, masih mengungguli Malaysia untuk
produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Tahun ini
produksi CPO Indonesia mencapai 25 ton sementara Malaysia baru 18,9 juta
ton.“Dengan fakta yang demikian, sepatutnya CPO mendapat pelonggaran,” ujarnya
Siswono.
Bagi Indonesia,
ekspor CPO menjadi pendorong utama kinerja ekspor non-migas pada Mei 2013. Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Mei 2013 ekspor lemak dan minyak
hewan/nabati Indonesia naik USD 311,9 juta, dari USD 1.400,4 juta pada April
2013 menjadi USD 1.712,3 juta.
Perlambatan ekonomi dunia yang
ditandai oleh tingginya inflasi, merosotnya nilai tukar mata uang Negara Asia
terhadap USD, dan naiknya harga bahan baku industry telah menurunkan daya beli
negara Asia. Kondisi ini telah menekan pasar CPO dunia yang terus tergerus
sejak Juni 2013.
Meski kinerja
ekspor CPO Indonesia sepanjang delapan bulan pertama 2013 tumbuh 18,6 persen
disbanding periode yang sama tahun lalu, yakni dari 11,54 juta ton di 2012 menjadi
13,69 juta ton di 2013, produk ekspor CPO Indonesia terus menurun sejak Juni
2013 akibat perlambatan ekonomi Indonesia. Terakhir data ekspor CPO Agustus
2013 tercatat 1,48 juta ton, turun 6,9 persen dibanding bulan sebelumnya yang
masih tercatat sebesar 1,59 juta ton.
“Turunnya volume
ekspor CPO dan turunannya pada bulan Juli disebabkan turunnya permintaan dari
Amerika Serikat (AS), negara Uni Eropa, dan beberapa negara Asia,” ujar
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadil
Hasan.
Selain
perlambatan ekonomi dunia, panen raya rapeseed dan biji bunga matahari
di negeri Paman Sam menyebabkan permintaan terhadap minyak sawit sebagai bahan
pengganti berkurang cukup drastis yaitu sebesar 69 persen dari 59,87 ribu ton
menjadi 18,41 ribu ton. Hal ini juga diikuti oleh negara Uni Eropa yang
mengurangi pembelian minyak sawit sebesar persen dari 370,29 ribu ton menjadi
359,23 ribu ton.
Permintaan
minyak sawit dari Bangladesh dan Pakistan juga mengalami penurunan yang cukup
signifikan karena tekanan ekonomi dan telah usainya hari raya Idul Fitri. Beruntung,
perdagangan minyak sawit ke India dan China mulai bergeliat dengan ditandai
kenaikan permintaan walaupun tidak signifikan.
China tercatat
meningkatkan impor minyak sawitnya sebesar delapan persen dari 157,34 ribu ton
menjadi 170,30 ribu ton. Sedangkan India hanya mencatat satu persen kenaikan
dari 346,51 ribu ton menjadi 349,69 ribu ton.
Dari sisi harga,
sepanjang Agustus masih relatif stagnan di antara USD 820 - USD 855 per metrik
ton. Harga sempat tercatat naik di akhir pekan ketiga dan awal pecan keempat di
kisaran USD 850 - USD 870 per metrik ton. Namun, harga kembali terjerembab pada
akhir minggu keempat sampai pada pertengahan September di kisaran USD 815 - USD
840 per metrik ton.
Harga CPO
diharapkan dapat terdongkrak oleh cuaca kering dan panas akhir-akhir ini di
jantung penghasil kedelai di Amerika Serikat yang diperkirakan Oil World
akan menurunkan panen sebesar tiga persen. Akan tetapi rapeseed dan biji
bunga matahari sedang panen raya di negara Eropa, Kanada dan Ukraina sehingga
harga untuk kedua komoditi ini menjadi rendah dan negara Amerika serta Eropa
lebih memilih komoditi ini.
Dengan kondisi
yang seperti ini akan sangat sulit bagi CPO mengalami kenaikan harga di pasar
global. Apalagi menjelang akhir tahun merupakan bulan panen raya untuk
kelapa sawit di Indonesia dan
Malaysia.
Pasar CPO
diprediksi relatif stagnan sepanjang September dan Oktober. Pada sisi pasokan,
stok CPO Indonesia dan Malaysia diperkirakan akan mulai meningkat sampai Desember.
Harga CPO
diperkirakan tidak akan menunjukkan trend kenaikan yang berarti seiring
meningkatnya stok CPO Indonesia dan Malaysia. Pasar CPO dunia akan lebih tertekan
lagi karena menyongsong panen kedelai di Brazil, Argentina dan Amerika yang
segera dimulai. Iin achmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar