Demi memperoleh pengakuan di pasar internasional, pemerintah melakukanKerjasama indonesian sustainable palm oil (ispo) melalui mekanisme bilateral atau Multilateral ke beberapa negara, china, inggris dan belanda. Ini untuk menjawab tantangan negara importir minyak sawit mentah (cpo), bahwa sawit tidak menyebabkan deforestasi, musnahnya satwa langka dan negatif terhadap perubahan iklim.
foto:Bimo |
Saat
ini Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar. Pada tahun 2012 produksi
sawit mencapai 23,4juta ton dan diperkirakan pada tahun 2013 akan mencapai 25
juta tondengan ekspor sebesar 19 juta
ton.
Ditambah
bila penggunaan biofuedi Indonesia naik menjadi 10%, maka Indonesia akan
menjadi negara produsen, eksportir dan pengguna sawit terbesar di dunia. Oleh karena itu Indonesia harus
mengatur industriminyak sawitnya sendiri. Disamping itu, sebagai negara hukum,
maka ketentuan di bidang perkebunan wajibdipatuhi oleh setiap warga negara Indonesia.
Hari
Priyono Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian mengungkapkan, skema ISPO
telah diluncurkan pada bulan Maret tahun 2011 dan berlaku penuh sejak 1 April tahun
2011. Sejak penerapannya sudah 19
perusahaan yang telah disertifikasi oleh ISPO. Dan ada 9 lembaga sertifikasi
yang ditunjuk untuk melaksanakan sertifikasi ISPO.
“Target
sertifikasi ISPO pada akhir tahun 2013 diperkirakan 30 sampai dengan 50 perusahaan
perkebunan kelapa sawit,” ujar Hari pada acara Seminar Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia di Hotel Gran Melia.
Mekanisme
sertifikasi ISPO didahului dengan sistem penilaian usaha perkebunan,
dimana pada tahap pertama perusahaan
harus dinilai terlebih dahulu sesuai dengan SK Menteri Pertanian No. 07 tahun 2009. “Ini
wajib dilakukan agar perusahaan memilki sistem manajemen perkebunan yang baik,”
kata Hari.
Hari
menambahkan, tahun ini ISPO akan memperkenalkan dua skema sertifikasi
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan bagi petani, yaitu skema untuk Petani Plasma
dan Skema Petani Swadaya. Skema ini dibuat berdasarkan hasil survei yang
dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia dan telah melalui proses uji lapang.
Menurutnya,
persyaratan kebun sawit plasma dan kebun swadaya milik rakyat tentu tidak sama
dengan persyaratan perkebunan besar. Bagi petani plasma hampir semua pelaksanaan
manajemen perkebunan ditangani oleh kebun inti. Sedangkan kebun rakyat
swadaya semua kegiatan dilaksanakan
sendiri. Skema ini diikuti oleh sistem sertifikasi yang sedikit berbeda dengan
skema sertifikasi bagi perkebunan besar.
Keikutsertaan
para pekebun dalam skema ISPO adalah
wajib, karena penerapannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hari
mengatakan, ISPO menggunakan mekanisme verifikasi melalui audit pihak ketiga untuk
mengetahui apakah pelaksana atau perusahaan telah menerapkan peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia.
Hari
menambahkan, saat ini skema ISPO direncanakan untuk direvisi dengan masuknya
ketentuan baru yaitu Instruksi Presiden (Inpres) No.10 tahun 2011 tentang
Penundaan Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta Penyempurnaan
Tata Kelola Hutan dan Gambut. Kemudian penanaman di Lahan Gambut yang
diperpanjang dengan Inpres No. 6 tahun
2013.
Disamping
itu, katanya, ada perubahan ketentuan mengenai penerapan high conservation
value atau nilai konservasi tinggi
harus disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia. “Penerapan
ketentuan pengurangan emisi gas rumah kaca yang terdapat di dalam skema ISPO
bertujuan untuk mendukung komitmen Presiden di Copenhagen pada tahun 2009,” tambahnya.
Selain
itu, bagi perusahaan yang telah disertifikasi ISPO dapat disertifikasi oleh
organisasi lainnya sepanjang ketentuan dari organisasi tersebut tidak melanggar peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia
Hari
mengungkapkan, Indonesia kini mendapat serangan dari organisasi di dalam dan
luar negeri terutama LSM yang melancarkan tuduhan, bahwa tanaman kelapa sawit
mengakibatkan deforestasi, membunuh satwa langka, memiskinkan petani serta mengeluarkan gas
rumah kaca yang tinggi.
Tuduhan
ini dilancarkan secara terus-menerus hingga beberapa negara pembeli memutuskan
untuk mengurangi impor minyak sawit dari Indonesia, dan beberapa produk makanan
di Eropa mulai tidak menggunakan minyak sawit. “Kegiatan kampanye secara
terbuka ini dilakukan dengan memasang iklan yang menentang penggunaan minyak
sawit
untuk penggunaan
bukan pangan,” tukasnya.
Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) dari negara pembeli menghasut konsumen untuk tidak
menggunakan biodiesel yang berasal dari minyak sawit. Di satu sisi pembeli terbesar
minyak sawit seperti India dan China tidak meminta persyaratan yang membe
ratkan.“Namun menghargai Indonesia dalam penerapan sustainable palm oil
untuk menjamin generasi mendatang dapat melakukan usaha perkebunan yang
berkelanjutan,”
tandasnya.
Meskipun
saat ini, katanya, permintaan akan minyak sawit berkelanjutan belum sebesar seperti yang diharapkan,
akan tetapi permintaan itu akan meningkat
diwaktu mendatang, terutama setelah tahun 2014. Eropa mempersyaratkan
akan membeli minyak sawit yang berkelanjutan untuk penggunaan industri dan energi terbarukan.
“Dari
standar yang berlaku sampai saat ini permintaan minyak sawit berkelanjutan hanya sekitar 1 juta ton saja, walaupun produksi telah
mencapai 3 juta ton,” ujar Hari. Dia menambahkan, untuk
memperoleh pengakuan di pasar internasional pemerintah telah melakukan pendekatan kerjasama ISPO melalui mekanisme
bilateral atau multilateral di beberapa negara misalnya China, Inggris dan
Belanda.
Bagi
Indonesia industri ini sangat penting karena mendatangkan lebih dari USD 21
miliar per tahun sebagai pendapatan ekspor. Disamping itu sejumlah besar petani
dan keluarganya menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit. “Selain itu kebutuhan
dalam negeri yang tinggi untuk pangan dan non-pangan seperti biodiesel
mendudukkan usaha ini pada posisi yang sangat penting,” ujarnya.
Menurutnya,
sawit harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Mengingat bahwa ini value
dalam bisnis sawit agar usahanya berkelanjutan. Beberapa negara sudah
mempersyaratkan perkebunan sawit tidak lagi menyebabkan deforestasi, musnahnya
satwa langka dan menimbulkan negatif terhadap perubahan iklim.
Indonesia
sebagai produsen sawit terbesar di dunia menerima tantangan itu dari
negara-negara pengimpor sawit. “Peneran ISPO penting, agar semua negara pembeli
minyak sawit dapat memahami bahwa Indonesia sungguh sungguh dalam menerapkan standar
sustainability palm oil,” ujar Hari.
Hari
berharap, ada nilai tambah dari perusahaan sawit yang telah memperoleh ISPO.
Pihaknya berkeinginan ada apresiasi dalam bentuk harga karena ini investasi. Negara
importir sawit tidak hanya menuntut soal lingkungan, tapi ada tambahan harga
premium bagi perusahaan yang telah mengantongi sertifikat ISPO.
Hendrajat
Natawidjaya, Direktur Tanaman Tahunan
Kementerian Pertanian menambahkan, pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan tidak hanya tuntutan pasar
internasional semata, akan tetapi yang lebih penting adalah sebagai upaya
pemerintah dalam melestarikan
lingkungan dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Sejak diterbitkannya Peraturan menteri
Pertanian No. 19 Tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa sawit
Berkelanjtan sebagai upaya untuk menerapkan peraturan terkait perkebunan sawit
lestari dan meyakinkan pasar internasional, bahwa sawit itu ramah
lingkungan.“Berbagai perkembangan, pengalaman, dan penyesuaian dilakukan agar pembangunan
kelapa sawit berkelanjutan dapat dicapai,” ujarnya. beledug bantolo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar