Minggu, 03 November 2013

Mentan Suswono : labelisasi Australia harus Dijawab

Sawit berkontribusi besar PADA perekonomian nasional. Nilai EKSPOR CPO PADA tahun 2012 mencapai USD 23 miliar, dan tahun ini Diperkirakan bisa tembus USD 25 miliar. ITU belum ditambah perolehan DARI bea keluar (bk) CPO yang tahun lalu mencapai RP 21 triliun. 

                                             foto:lst

Namun problem sawit kian tahun kian bertambah. Kampanye  buruk dilakukan banyak  negara. Selain Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa, Australia pun juga sudah melakukan itu. Negeri Kanguru itu sudah menerapkan labelisasi pada produk makanan anti sawit. Padahal itu belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bahwa sawit tidak aman untuk kesehatan. “Ini harus dijawab, bahwa pengembangan sawit itu ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan,” ujar Menteri Pertanian Suswono.

Mentan  mengungkapkan, sawit ini kepentingan nasional, bisa dicintai tapi tidak dibenci. Pada tahun 2012 sawit luas arealnya mencapai 8,9 juta ha. Luas areal sawit sudah melampaui lahan sawah sekitar 8 juta ha. Areal sawit 40% dimiliki oleh rakyat dan Indonesia sudah menjadi produsen  sawit terbesar di dunia. Tahun ini  diperkirakan produksi CPO mencapai 28 juta ton. Sawit menjadi andalan ekspor karena penggunaan dalam negeri sedikit.

Sawit diharapkan bisa berkembang, namun tidak mereduksi lahan pertanian pangan produktif. Ada beberapa daerah sawah dikonversi menjadi sawit. Sumsel merupakan daerah yang ikut berkontribusi pangan pokok yaitu beras nasional. “Sementara kita belum bisa menggantikan nasi dengan yang lain. Ekspansi sawit boleh, tapi juga musti memikirkan keberlanjutan pangan pokok,” ujar Suswono.

Suswono mengatakan, program integrasi sawit dengan ternak sapi itu baik, karena kita masih impor sapi cukup besar. Konsumsi daging 2,2 kilogram per kapita per tahun. Program ini mampu meningkatkan bobot badan sapi 1 kilogram per hari dengan asupan pakan dari limbah dan bungkil sawit.

Misalnya luas areal sawit di Sumsel digunakan untuk mengembangkan sapi 40.000 ha dengan satu ha dua sapi. Diperoleh 800.000 ekor sapi dan mampu memenuhi kebutuhan daging sapi. “Ini peluang usaha yang terbuka dengan dua pola pengembangan yakni sapi dikandangkan atau sapi dilepas di perkebunan,” ujarnya.

Menurutnya, bila program integrasi sawit dengan sapi berhasil, tidak perlu lagi bergantung dengan impor sapi dari Australia. Selain itu, usaha sampingan untuk menghasilkan pupuk organik ini berkontribusi mengurangi biaya pemupukan. Pupuk  organik dapat menyuburkan tanaman  sawit.

Dia menambahkan, perkebunan  sawit sebagian bisa ditumpang-sarikan dengan tanaman pangan. Ini upaya mewujudkan ketahanan pangan yang juga berfungsi untuk menekan gejolak sosial.

Tantangan ekspor sawit ke depan adalah banyaknya kepentingan dari negara pengimpor. Mereka membenci sawit karena sawit paling efisien dibanding rapeseed dan bunga matahari yang tidak bisa mengalahkan sawit sampai kapan pun. “Itulah, dengan berbagai cara, dengan alasan ilmiah, kendati hasilnya masih bisa didebatkan. Sawit mememiliki kontribusi besar bagi pengurangan
emisi gas rumah kaca,” katanya.

Indonesia harus menyiapkan aspek legal jika melakukan upaya untuk melakukan perlawanan terhadap pendiskreditan kelapa sawit. Sebab di Australia sudah menerapkan labelisasi pada produk makanan anti sawit. Padahal itu belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah bahwa sawit tidak aman untuk kesehatan. “Ini harus dijawab, bahwa pengembangan sawit itu ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan,” ujarnya.

Suswono mengungkapkan, harus diakui lahan sawit dahulunya adalah bekas lahan hutan. Itu kebijakan masa lalu yang salah. Akan tetapi kalau lahan itu terbuka, itu akan lebih salah lagi, maka dimanfaatkan untuk menanam sawit dan tanaman ini memberi kontribusi terhadap mengurangi emisi. Di masa mendatang tantangan pengembnagan industri sawit dapat diterima oleh masyarakat global.

Untuk meningkatkan produktivitas sawit yang masih rendah lantaran 40% adalah perkebunan sawit rakyat. Fokus dari pemerintah meremajakan pohon sawit yang sudah tua. Pada saat  replanting petani tidak memperoleh pendapatan. “Disarankan melakukan tumpang sari dengan tanaman musiman yang cepat menghasilkan. Ada satu lokasi dengan menanam jahe merah. Itu petani dapat memperoleh penghasilan pada saat replanting,” tambahnya.

Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tungkot Sipayung menambahkan, kontribusi industri sawit terhadap pemulihan perekonomian nasional cukup besar. Pelemahan nilai rupiah terhadap mata uang dollar adalah persoalan defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Defisit, karena nilai ekspor lebih kecil daripada impor. Industri sawit merupakan penyumbang ekspor terbesar nasional dari komoditas non migas.

Tungkot menyebutkan, tahun lalu nilai ekspor USD 23 miliar dan tahun ini hingga Juli mencapai USD 10,5 miliar. Tahun 2013 nilai ekspor sawit diperkirakan sebesar USD 25 miliar. Salah satu impor terbesar Indonesia adalah solar, dan sawit bisa mensubstitusinya dengan biodiesel. Oleh karena itu, ekspor sawit digenjot dan ganti solar impor dengan biodiesel. “Maka defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan bisa diatasi,” ujar Tungkot.

Menurutnya, sekarang tinggal komitmen dari pemerintah. GAPKI berharap pemerintah dapat memberi dukungan untuk memajukan industri perkebunan sawit. Salah satunya dengan penurunan bea keluar untuk peningkatan nilai ekspor dan penyerapan CPO dalam negeri sebagai biodiesel untuk mengurangi impor migas.

Isu lingkungan bukan hal baru, karena ini sudah dimulai tahun 1980. Ujungnya ini adalah persoalan bisnis. Negara produsen kedelai, bunga matahari itu kalah bersaing dengan sawit. Seratus tahun merajai minyak nabati dunia, tiba-tiba dikalahkan oleh sawit. Sawit itu paling efisien dan paling murah, negara Amerika Serikat dan Eropa tidak bisa membendung  kemajuan sawit. “Akhirnya lahir  isu lingkungan untuk merusak citra sawit,” pungkas Tungkot.

Tantangan UMR
Ketua Gabungan Pengusaha  Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Selatan Periode 2010-2013 Sumarjono Saragih mengatakan, potensi areal sawit di Sumatera Selatan (Sumsel) sekitar 1,5 juta hektar (ha) cocok untuk ditanami.  

Sampai sekarang 850.000 ha sudah tertanami sawit. Berdasarkan data itu, 45% lahan itu dimiliki oleh petani plasma, petani mandiri dan kemitraan. Masih ada potensi pengembangan lahan, kendati itu tidak mudah untuk merealisasikannya. “Sawit itu dicintai tapi juga dibenci. Karena masih ada yang tidak menyukai sawit, namun banyak yang mencintainya,” ujarnya.

Bisnis sawit di Sumsel ada tantangan. Upah minimum regional (UMR) menjadi isu seksi bagi pengusaha dan serikat pekerja. Tahun ini UMR naik 36,4%, mekanisme penetapan pengupahan di dewan pengupahan itu kalah oleh kelompok tertentu. “Ironisnya diterima oleh
pemerintah,” tukasnya.

Kenaikan upah yang tidak terkendali ini membahayakan industri sawit, karena kelapa sawit di Sumsel paling banyak menyerap tenaga kerja. “Kemudian produktivitas kebun sawit petani masih rendah, hanya mampu memproduksi tandan buah segar (TBS) sekitar 4-5 ton per ha, padahal potesinya 24 ton per ha,” tambahnya.

Ini terjadi pada petani swadaya. Sementara petani plasma masih beruntung ada perusahaan menjadi inti akses ke pabrik lebih terjamin. “Jalan dibangunkan dan harga dilindungi dengan adanya penetapan harga TBS propinsi,” katanya  di sela acara seminar nasional dan muscab GAPKI Sumsel.

Petani swadaya sering dilupakan atau berjuang sendiri. Mata rantai yang panjang ke pabrik kelapa sawit (PKS) mengakibatkan memperoleh harga TBS yang lebih murah. Peremajaan pohon sawit (replanting) perkebunan sawit rakyat diperkirakann 15.000 ha yang musti diremajakan. “Sekarang tinggal siapa yang akan melakukan dan dananya darimana,” ujarnya.

Pengalaman buruk kemitraan yakni adanya pengalihan kepemilikan sertifikat tanah. Ini akan menjadi masalah oleh pihak perbankan.  Karena nama berbeda dengan pihak  yang mengajukan kredit. “Kepastian penegakan hukum di Sumsel banyak aturan yang membebani, melalui lahirnya peraturan daerah. Gairah otonomi yang berbau populis dan politik seringkali mengeluarkan aturan yang tidak rasional,” katanya.


Dia menambahkan, ada sumbangan untuk pihak ketiga, pungutan pajak penerangan jalan dan perda larangan kendaraan perkebunan melewati jalan umum.”Ada ketidakadilan lantaran Bea Keluar CPO pada 2012 mencapai Rp 21 triliun seharusnya pemerintah bisa mengembalikan untuk kemajuan perkebunan sawit,” tandasnya. beledug bantolo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar