Sawit berkontribusi besar PADA perekonomian nasional. Nilai EKSPOR CPO PADA tahun 2012 mencapai USD 23 miliar, dan tahun ini Diperkirakan bisa tembus USD 25 miliar. ITU belum ditambah perolehan DARI bea keluar (bk) CPO yang tahun lalu mencapai RP 21 triliun.
foto:lst
Namun problem sawit kian tahun kian bertambah. Kampanye buruk dilakukan banyak negara. Selain Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa, Australia pun juga sudah melakukan itu. Negeri Kanguru itu sudah menerapkan labelisasi pada produk makanan anti sawit. Padahal itu belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bahwa sawit tidak aman untuk kesehatan. “Ini harus dijawab, bahwa pengembangan sawit itu ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan,” ujar Menteri Pertanian Suswono.
Mentan mengungkapkan, sawit ini kepentingan
nasional, bisa dicintai tapi tidak dibenci. Pada tahun 2012 sawit luas arealnya
mencapai 8,9 juta ha. Luas areal sawit sudah melampaui lahan sawah sekitar 8
juta ha. Areal sawit 40% dimiliki oleh rakyat dan Indonesia sudah menjadi
produsen sawit terbesar di
dunia. Tahun ini diperkirakan produksi
CPO mencapai 28 juta ton. Sawit menjadi andalan ekspor karena penggunaan dalam negeri
sedikit.
Sawit
diharapkan bisa berkembang, namun tidak mereduksi lahan pertanian pangan produktif.
Ada beberapa daerah sawah dikonversi menjadi sawit. Sumsel merupakan daerah
yang ikut berkontribusi pangan pokok yaitu beras nasional. “Sementara kita
belum bisa menggantikan nasi dengan yang lain. Ekspansi sawit boleh, tapi juga musti
memikirkan keberlanjutan pangan pokok,” ujar Suswono.
Suswono
mengatakan, program integrasi sawit dengan ternak sapi itu baik, karena kita
masih impor sapi cukup besar. Konsumsi daging 2,2 kilogram per kapita per
tahun. Program ini mampu meningkatkan bobot badan sapi 1 kilogram per hari dengan
asupan pakan dari limbah dan bungkil sawit.
Misalnya
luas areal sawit di Sumsel digunakan untuk mengembangkan sapi 40.000 ha dengan
satu ha dua sapi. Diperoleh 800.000 ekor sapi dan mampu memenuhi kebutuhan
daging sapi. “Ini peluang usaha yang terbuka dengan dua pola pengembangan yakni
sapi dikandangkan atau sapi dilepas di perkebunan,” ujarnya.
Menurutnya,
bila program integrasi sawit dengan sapi berhasil, tidak perlu lagi bergantung
dengan impor sapi dari Australia. Selain itu, usaha sampingan untuk
menghasilkan pupuk organik ini berkontribusi mengurangi biaya pemupukan. Pupuk organik dapat
menyuburkan tanaman sawit.
Dia menambahkan,
perkebunan sawit sebagian bisa
ditumpang-sarikan dengan tanaman pangan. Ini
upaya mewujudkan ketahanan pangan yang juga
berfungsi untuk menekan gejolak sosial.
Tantangan
ekspor sawit ke depan adalah banyaknya kepentingan dari negara pengimpor. Mereka membenci sawit karena sawit paling
efisien dibanding rapeseed dan bunga matahari
yang tidak bisa mengalahkan sawit sampai kapan
pun. “Itulah, dengan berbagai cara, dengan alasan
ilmiah, kendati hasilnya masih bisa didebatkan. Sawit mememiliki kontribusi besar bagi pengurangan
emisi gas rumah
kaca,” katanya.
Indonesia
harus menyiapkan aspek legal jika melakukan upaya untuk melakukan perlawanan terhadap pendiskreditan kelapa sawit.
Sebab di Australia sudah menerapkan labelisasi
pada produk makanan anti sawit. Padahal itu
belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah
bahwa sawit tidak aman untuk kesehatan. “Ini harus dijawab, bahwa pengembangan sawit itu ramah lingkungan dan aman bagi
kesehatan,” ujarnya.
Suswono
mengungkapkan, harus diakui lahan sawit dahulunya adalah bekas lahan hutan. Itu
kebijakan masa lalu yang salah. Akan tetapi kalau lahan itu terbuka, itu akan
lebih salah lagi, maka dimanfaatkan untuk menanam sawit dan tanaman ini memberi
kontribusi terhadap mengurangi emisi. Di masa mendatang tantangan pengembnagan
industri sawit dapat diterima oleh masyarakat global.
Untuk
meningkatkan produktivitas sawit yang masih rendah lantaran 40% adalah
perkebunan sawit rakyat. Fokus dari pemerintah meremajakan pohon sawit yang
sudah tua. Pada saat replanting
petani tidak memperoleh pendapatan. “Disarankan melakukan tumpang sari dengan
tanaman musiman yang cepat menghasilkan. Ada satu lokasi dengan menanam jahe
merah. Itu petani dapat memperoleh penghasilan pada saat replanting,”
tambahnya.
Ketua
Bidang Hukum dan Advokasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
Tungkot Sipayung menambahkan, kontribusi industri sawit terhadap pemulihan perekonomian
nasional cukup besar. Pelemahan nilai rupiah terhadap mata uang dollar adalah
persoalan defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Defisit, karena nilai
ekspor lebih kecil daripada impor. Industri sawit merupakan penyumbang ekspor terbesar
nasional dari komoditas non migas.
Tungkot
menyebutkan, tahun lalu nilai ekspor USD 23 miliar dan tahun ini hingga Juli
mencapai USD 10,5 miliar. Tahun 2013 nilai ekspor sawit diperkirakan sebesar
USD 25 miliar. Salah satu impor terbesar Indonesia adalah solar, dan sawit bisa
mensubstitusinya dengan biodiesel. Oleh karena itu, ekspor sawit digenjot dan
ganti solar impor dengan biodiesel. “Maka defisit neraca perdagangan dan
transaksi berjalan bisa diatasi,” ujar Tungkot.
Menurutnya,
sekarang tinggal komitmen dari pemerintah. GAPKI berharap pemerintah dapat
memberi dukungan untuk memajukan industri perkebunan sawit. Salah satunya dengan
penurunan bea keluar untuk peningkatan nilai ekspor dan penyerapan CPO dalam
negeri sebagai biodiesel untuk mengurangi impor migas.
Isu
lingkungan bukan hal baru, karena ini sudah dimulai tahun 1980. Ujungnya ini
adalah persoalan bisnis. Negara produsen kedelai, bunga matahari itu kalah
bersaing dengan sawit. Seratus tahun merajai minyak nabati dunia, tiba-tiba
dikalahkan oleh sawit. Sawit itu paling efisien dan paling murah, negara
Amerika Serikat dan Eropa tidak bisa membendung kemajuan sawit. “Akhirnya lahir isu lingkungan untuk
merusak citra sawit,” pungkas Tungkot.
Tantangan UMR
Ketua
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI) Sumatera Selatan Periode
2010-2013 Sumarjono Saragih mengatakan, potensi
areal sawit di Sumatera Selatan (Sumsel) sekitar 1,5 juta hektar (ha) cocok untuk ditanami.
Sampai
sekarang 850.000 ha sudah tertanami sawit. Berdasarkan data itu, 45% lahan itu
dimiliki oleh petani plasma, petani mandiri dan kemitraan. Masih ada potensi
pengembangan lahan, kendati itu tidak mudah untuk merealisasikannya. “Sawit itu
dicintai tapi juga dibenci. Karena masih ada yang tidak menyukai sawit, namun banyak
yang mencintainya,” ujarnya.
Bisnis
sawit di Sumsel ada tantangan. Upah minimum regional (UMR) menjadi isu seksi
bagi pengusaha dan serikat pekerja. Tahun ini UMR naik 36,4%, mekanisme penetapan
pengupahan di dewan pengupahan itu kalah oleh kelompok tertentu. “Ironisnya
diterima oleh
pemerintah,”
tukasnya.
Kenaikan
upah yang tidak terkendali ini membahayakan industri sawit, karena kelapa sawit
di Sumsel paling banyak menyerap tenaga kerja. “Kemudian produktivitas kebun
sawit petani masih rendah, hanya mampu memproduksi tandan buah segar (TBS)
sekitar 4-5 ton per ha, padahal potesinya 24 ton per ha,” tambahnya.
Ini
terjadi pada petani swadaya. Sementara petani plasma masih beruntung ada
perusahaan menjadi inti akses ke pabrik lebih terjamin. “Jalan dibangunkan dan
harga dilindungi dengan adanya penetapan harga TBS propinsi,” katanya di sela acara seminar nasional dan muscab GAPKI
Sumsel.
Petani
swadaya sering dilupakan atau berjuang sendiri. Mata rantai yang panjang ke
pabrik kelapa sawit (PKS) mengakibatkan memperoleh harga TBS yang lebih murah.
Peremajaan pohon sawit (replanting) perkebunan sawit rakyat diperkirakann
15.000 ha yang musti diremajakan. “Sekarang tinggal siapa yang akan melakukan
dan dananya darimana,” ujarnya.
Pengalaman
buruk kemitraan yakni adanya pengalihan kepemilikan sertifikat tanah. Ini akan
menjadi masalah oleh pihak perbankan. Karena
nama berbeda dengan pihak yang mengajukan kredit. “Kepastian penegakan hukum di
Sumsel banyak aturan yang membebani, melalui lahirnya peraturan daerah. Gairah otonomi
yang berbau populis dan politik seringkali mengeluarkan aturan yang tidak
rasional,” katanya.
Dia
menambahkan, ada sumbangan untuk pihak ketiga, pungutan pajak penerangan jalan dan
perda larangan kendaraan perkebunan melewati jalan umum.”Ada ketidakadilan
lantaran Bea Keluar CPO pada 2012 mencapai Rp 21 triliun seharusnya pemerintah bisa
mengembalikan untuk kemajuan perkebunan sawit,” tandasnya. beledug
bantolo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar