Jumat, 01 November 2013

2015, Menuju Negara Pengekspor Hasil Kelautan Terbesar Dunia


Begitu melekatnya identitas negara maritim pada  Bangsa ini. Dua per tiga wilayah indonesia adalah Perairan. Sudah selazimnya segenap rakyat bisa  Merasakan kemakmuran dari komoditas kelautan Dan perikanan.
 
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah bertekad menjadikan Indonesia sebagai pengekspor hasil kelautan dan perikanan terbesar di tahun 2015. Langkah optimis ini bukan hanya wacana. Itu terbukti dari peningkatan volume ekspor komoditas perikanan yang mengalami kenaikan secara stedy tiap tahunnya.

“Meski dari volumenya relatif kecil, ekspor kita secara konsisten terus naik ya. Dari total produksi ikan tahun lalu, yakni ikan tangkap 5.8 juta ton, kemudian ikan budidaya 3.5 juta ton, kita bisa ekspor 1.2 juta ton untuk konsumsi dan 2.2 juta ton berupa bahan baku. Memang sebagian besar (75 %) itu untuk kita konsumsi dalam negeri, ” papar Saut P. Hutagalung, Direktur Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) KKP saat ditemui Agrofarm.

Saut meyakini laju ekspor komoditas kelautan dan perikanan Indonesia tidak akan menurun di tengah melemahnya perekonomian global, karena ikan merupakan barang konsumsi. Menurutnya, orang tetap memakan ikan hanya saja ukurannya yang berbeda. Misalnya Amerika yang tadinya mengimpor udang size 40 ekor per kilogram beralih ke size 90 ekor per kilogram. Namun tetap dengan volume  yang sama, 560 ribu ton per tahun

udang komoditas andalan Namun demikian, kondisi perekonomian yang lemah secara umum menjadi sumbangsih turunnya permintaan global, termasuk Amerika dan Uni Eropa. Mereka makin memperketat impor melalui berbagai aturan baru demi melindungi pasar domestik. Bahan baku seperti octopus, cumi, squit juga semakin sulit ditemukan.

            Beruntung Indonesia telah mengalami kemajuan budidaya kelautan dan perikanan yang cukup pesat. Pada tahun 80-an, 80 persen produksi ikan adalah hasil tangkap. Namun produksi budidaya ikan saat ini sudah di atas 10 juta ton. Salah satu produk unggulan Indonesia adalah udang budidaya.

“Tahun lalu kita ekspor dengan total nilai 3. 8 miliar USD. Udang menjadi komoditas terkuat kita dengan nilai 1.3 milar USD atau 30 persen dari total volume ekspor. Disusul tuna senilai 750 juta USD dan kepiting rajungan senilai 330 juta USD serta rumput laut senilai 170 juta USD. Kita sedang kembangkan kerapu budidaya karena selain udang, kerapu juga diminati dunia, ” ujar Saut.

Saut menambahkan, awal bulan November merupakan waktu yang pas untuk ekspor udang karena biasanya terjadi permintaan tinggi menjelang natal dan tahun baru. Sayangnya produksi udang nasional pada  bulan Oktober ini belum mencukupi  permintaan pasar. Pengaturan pola tanam masih menjadi kendala terbesar industri udang di antara KKP dan petambak.

“Ini saat yang paling tepat untuk usaha udang. Pertama, kita bebas penyakit udang. Produsen udang sedang terkena penyakit itu, hanya India dan Ekuador dan kita. Kedua kita dan Thailand bebas tuduhan subsidi Amerika. Ketiga kita bebas wajib uji antibiotika di Uni Eropa. Ini artinya terbuka lebar pasar di Amerika dan Uni Eropa. Ini yang perlu disadari oleh temen-temen di sektor hulu agar target kita ekspor udang 40 persen tercapai. Kita genjot produksi udang dari sekarang, ” terang Saut.

Konsekuensi Industrialisasi Kebutuhan konsumsi maupun bahan baku industri kelautan dan perikanan dalam negeri selama ini selalu diupayakan bertumpu pada produk ikan nasional. Namun iklim yang tidak selalu mendukung menyebabkan hasil penangkapan kurang baik. Di satu sisi adanya lonjakan permintaan pada bulan-bulan tertentu, misalnya saat mau lebaran kemarin, menyebabkan terjadinya gap antara kebutuhan dan ketersediaan ikan.

“Kita sudah upayakan dari daerah lain yang ada ikannya, seperti sekarang ini kan Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara. Nah masalahnya itu tidak banyak. Paling 60 ton dan transportasinya juga belum memadai. Dalam situasi demikian kita tidak mungkin menunggu, sehingga kita mengimpor sebagai solusi jangka pendek. Lebaran kemarin kan bandeng yang mengamankan di hari kedua dan ketiga, ” terang Saut.

Saut menilai impor merupakan konsekuensi dari industrialisasi. Sepanjang dapat mengatur persentase impor terhadap ekspor dengan baik, impor untuk kebutuhan bahan baku tidak menjadi masalah. Impor ikan hanya diprioritaskan seabagai bahan baku industri pengolahan untuk diekspor, industri pengalengan untuk menyerap tenaga kerja, serta umpan untuk ikan tangkap tuna.

“Dari 337 ribu ton komoditas kelautan dan perikanan yang kita impor, 30 persennya tepung ikan. Artinya ia akan mengikuti pertumbuhan budidaya ikan dan  bahan baku industrialisasi. Dan  kita dibolehkan impor sampai 20 persen tapi bisa kita tekan hingga 11 persen saja. Disamping itu orang Jepang, Korea, Taiwan makin banyak, permintaan juga makin tinggi. Misalnya ikan salmon, rumput laut nori. Ini juga  sedang kita usahakan agar diolah sendiri agar bisa mengurangi impor kan,  ” lanjut Saut.

Investasi minim Tahun ini KKP mengalami penurunan anggaran dari Rp 6,979,5 triliun (APBN-P 2013) menjadi Rp 5,601,5 triliun (RAPBN 2014). Hal ini diakui Saut menjadi kendala dalam mencapai target produksi. Berbagai fasilitas dan sarana produksi masih belum memadai. MIsalnya saluran untuk budidaya ikan, pelabuhan maupun cold storage untuk ikan tangkap.

Meskipun demikian, Saut masih tetap optimis. Pasalnya tahun lalu anggaran meningkat setelah mendapatkan ABT (Anggaran Biaya Tambahan). Selain itu, masalah distribusi dan transportasi hasil kelautan dapat lebih diefisienkan melalui program SLIN (sistem logistik ikan nasional) yang bisa ditawarkan ke swasta maupun pemda. Dengan demikian Kementerian tidak perlu membiayai secara keseluruhan.

“Tahun ini (APBN-P 2014) juga kan kita masih lihat hasil bulan September apakah perlu ditambah atau tidak. Terus yang kedua, sebenarnya kita  tinggal bikin program yang menarik dari sisi bisnis dan aturan yang jelas sehingga swasta, pemda ataupun perbankan bisa masuk disitu. Artinya kan nanti kementerian tidak perlu membiayai semuanya. Ini sedang kita uji coba program SLIN, ” tutur Saut.

Berbekal kesadaran bahwa Indonesia tidak kekurangan ikan dan distribusi menjadi kendala, KKP mengembangkan SLIN. Nantinya daerah-daerah penghasil ikan yang terpencil seperti Papua, Maluku Utara dan Sulawei akan dilengkapi cold storage dengan kapasitas yang memadai. Kemudian dibuat jalur pemasaran dari sentra produksi ke sentra pasar.

Sementara baru ada dua koridor yang sedang dibangun, koridor Sulawesi Tenggara-Surabaya-Jakarta dan koridor Ambon-Surabaya-Jakarta. Sistem tersebut diyakini akan membuat pasokan ikan untuk konsumsi, usaha pengolahan maupun bahan baku  industri jauh lebih baik dan mampu  menekan impor.


“Kita terus mengajak pemda,  swasta dan perbankan untuk mau berinvestasi. Bisnis kelautan dan perikanan menguntungkan loh. Ini udang unggulan kita. Ini loh bisnis  fillet patin. Ini loh ada industri pengolahan limbah tulang, kepala, kulit, sisik ikan. Ini kan peluang usaha yang tidak boleh dianggap sepele oleh pengusaha. Pemda juga dapat mengembangkan tambak bagi hasil, atau sistem transportasinya. Terakhir perbankan agar bisa mengucurkan kredit. BRI kemarin sempat nempel. Cuma mungkin kita kurang dapat menjelaskan dan meyakinkan mereka, ” tutup Saut.  Yosi Winosa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar