Walau
menjadi salah Satu negara produsen Mutiara terbesar di dunia, ekspor Mutiara Indonesia
kalah bersaing dengan Hong kong dan Amerika Serikat. Padahal Mutiara laut
Selatan Begitu dikenal oleh Mancanegara. Itu karena Kualitas dan Jaringan pasar
masih lemah
foto: lst |
Indonesia
merupakan produsen mutiara laut selatan (South Sea Pearl) terbesar di
dunia dengan memasok 43% kebutuhan dunia. “Kita adalah pemasok mutiara dunia
hingga 43%, khususnya mutiara laut selatan ini. Kita termasuk besar di dunia
ini. Tetapi saya kecewa, nilai ekspor kita masih sangat kecil bila dibandingkan
transaksi ekspor mutiara di dunia,” ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan
Sharif C Sutardjo di acara Indonesian Pearl Festival (IPF) 2013 di JCC
Senayan Jakarta.
Sharif
ingin agar ekspor mutiara di Indonesia jauh lebih meningkat ke depannya. Caranya dengan mengajak para
pengusaha dan asosiasi memperkuat jaringan pasar dan peningkatan mutu mutiara
yang akan diekspor.
“Kita
mempunyai program untuk mempercepat industrialisasi sektor kelautan. Mutiara
selatan ini adalah konsep kemajuan produk dari Indonesia. Mutiara selatan ini
sangat mewah yang diakui di dunia. Sebagai perhiasan yang didambakan wanita di dunia.
Laki-laki bekerja keras mencari uang, wanita bekerja keras untuk membeli
mutiara selatan,” katanya. Salah satu pendekatan yang akan dilakukan adalah
dengan konsep blue economy. Konsep ini nantinya dapat menggairahkan
industrialisasi sektor kelautan dan mutiara khususnya agar terjadi peningkatan
nilai ekspor.
“Kita
harus bisa mencari konsep yang benar dan memajukan industrialisasi
dengan pendekatan blue economy. Yang paling penting kita produksi tanpa limbah. Bagaimana kita terus dorong
pengusaha untuk indusdri ini. Industrialisasi
ini penting. Negara kita itu masih di bawah standar negara maju bila
dibandingkan Amerika dan negara Eropa lainnya,” katanya.
Para
pengusaha mutiara mengakui, mutiara
Indonesia kalah kualitas dengan negara lain. Ekspor pun mengalami penurunan.
Bahkan Indonesia masih di bawah Hong Kong, China, Jepang, Australia, Tahiti,
Amerika Serikat, Swiss dan Inggris. “Satu, kita masih kalah kualitas,” ujar
Ketua Umum Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia Antony Tanios saat ditemui Agrofarm
di JCC Senayan Jakarta.
Dikatakan
Antony, untuk menghasilkan kualitas mutiara kelas A cukup sulit. Hal pertama
yang harus dilihat adalah faktor alam dan tingkat polusi di dalam laut. Selama
ini,
Indonesia lebih
banyak mengekspor mutiara kelas B dan C yang harga dan nilainya jauh lebih
rendah.
“Lingkungan
laut dan faktor alam dan lainnya itu yang mempengaruhi kualitas mutiara. Kalau
banyak polusi juga pengaruh. Contohnya di Maluku ada wabah penyakit dan kerang
mati semua di sana. Kita minta bantuan pemerintah dan LIPI ini kenapa. Jadi
memang karena faktor alam. Penangkapan ikan melalui potasium itu juga pengaruhi
kerang. Sehingga selama ini kita masih banyak ekspor mutiara kelas B dan C itu
masih 70%. Kalau bisa kita naik ke kelas A. Kelas A itu masih kecil paling
hanya 10%,” jelasnya.
Kemudian
faktor lain adalah karena Indonesia
masih mengekspor mutiara dalam bentuk gelondongan alias mutiara utuh.
Padahal untuk meningkatkan nilai tambah, ekspor
mutiara dalam bentuk perhiasan jauh mempunyai
nilai lebih tinggi bila dibandingkan mutiara gelondongan.
“Diolah
jadi perhiasan itu jauh lebih baik. Sampai saat ini masih 20% mutiara kita
diolah jadi perhiasan. Tetapi ini kendala juga, karena kurang teknologi dan
pengetahuan. Jadi biasanya mutiara Indonesia itu diolah menjadi perhiasan
tetapi tidak di Indonesia, tetapi di Jepang, Korea Selatan dan China. Kemudian
setelah diolah di sana dikembalikan ke Indonesia dengan harga jual jauh lebih
mahal. Salah satu penyebabnya, kita masih kekurangan ahli perhiasan,” katanya. Dian
Yuniarni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar