Jumat, 01 November 2013

Mutiara Indonesia Kalah Dari hong Kong & AS


Walau menjadi salah Satu negara produsen Mutiara terbesar di dunia, ekspor Mutiara Indonesia kalah bersaing dengan Hong kong dan Amerika Serikat. Padahal Mutiara laut Selatan Begitu dikenal oleh Mancanegara. Itu karena Kualitas dan Jaringan pasar masih lemah

                                           foto: lst

Data yang didapat Agrofarm menyebutkan, nilai perdagangan mutiara Indonesia menempati  urutan 9 di dunia dengan  nilai ekspor USD 29,5 juta. Atau 2,07% dari total ekspor seluruh jenis mutiara di dunia yang mencapai USD 1,4 miliar di tahun 2012. Nilai ekspor Indonesia masih jauh di bawah Hong Kong, China, Jepang, Australia, Tahiti, Amerika Serikat, Swiss dan Inggris.

Indonesia merupakan produsen mutiara laut selatan (South Sea Pearl) terbesar di dunia dengan memasok 43% kebutuhan dunia. “Kita adalah pemasok mutiara dunia hingga 43%, khususnya mutiara laut selatan ini. Kita termasuk besar di dunia ini. Tetapi saya kecewa, nilai ekspor kita masih sangat kecil bila dibandingkan transaksi ekspor mutiara di dunia,” ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo di acara Indonesian Pearl Festival (IPF) 2013 di JCC Senayan Jakarta.

Sharif ingin agar ekspor mutiara di Indonesia jauh lebih meningkat  ke depannya. Caranya dengan  mengajak para pengusaha dan asosiasi memperkuat jaringan pasar dan peningkatan mutu mutiara yang akan diekspor.

“Kita mempunyai program untuk mempercepat industrialisasi sektor kelautan. Mutiara selatan ini adalah konsep kemajuan produk dari Indonesia. Mutiara selatan ini sangat mewah yang diakui di dunia. Sebagai perhiasan yang didambakan wanita di dunia. Laki-laki bekerja keras mencari uang, wanita bekerja keras untuk membeli mutiara selatan,” katanya. Salah satu pendekatan yang akan dilakukan adalah dengan konsep blue economy. Konsep ini nantinya dapat menggairahkan industrialisasi sektor kelautan dan mutiara khususnya agar terjadi peningkatan nilai ekspor.

“Kita harus bisa mencari konsep  yang benar dan memajukan industrialisasi dengan pendekatan blue economy. Yang paling penting kita produksi tanpa limbah. Bagaimana kita terus dorong pengusaha untuk indusdri ini. Industrialisasi ini penting. Negara kita itu masih di bawah standar negara  maju bila dibandingkan Amerika dan negara Eropa lainnya,” katanya.

Para pengusaha mutiara mengakui,  mutiara Indonesia kalah kualitas dengan negara lain. Ekspor pun mengalami penurunan. Bahkan Indonesia masih di bawah Hong Kong, China, Jepang, Australia, Tahiti, Amerika Serikat, Swiss dan Inggris. “Satu, kita masih kalah kualitas,” ujar Ketua Umum Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia Antony Tanios saat ditemui Agrofarm di JCC Senayan Jakarta.

Dikatakan Antony, untuk menghasilkan kualitas mutiara kelas A cukup sulit. Hal pertama yang harus dilihat adalah faktor alam dan tingkat polusi di dalam laut. Selama ini,
Indonesia lebih banyak mengekspor mutiara kelas B dan C yang harga dan nilainya jauh lebih rendah.

“Lingkungan laut dan faktor alam dan lainnya itu yang mempengaruhi kualitas mutiara. Kalau banyak polusi juga pengaruh. Contohnya di Maluku ada wabah penyakit dan kerang mati semua di sana. Kita minta bantuan pemerintah dan LIPI ini kenapa. Jadi memang karena faktor alam. Penangkapan ikan melalui potasium itu juga pengaruhi kerang. Sehingga selama ini kita masih banyak ekspor mutiara kelas B dan C itu masih 70%. Kalau bisa kita naik ke kelas A. Kelas A itu masih kecil paling hanya 10%,” jelasnya.

Kemudian faktor lain adalah  karena Indonesia masih mengekspor  mutiara dalam bentuk gelondongan alias mutiara utuh. Padahal untuk meningkatkan nilai tambah, ekspor mutiara dalam bentuk perhiasan jauh mempunyai nilai lebih tinggi bila dibandingkan mutiara gelondongan.


“Diolah jadi perhiasan itu jauh lebih baik. Sampai saat ini masih 20% mutiara kita diolah jadi perhiasan. Tetapi ini kendala juga, karena kurang teknologi dan pengetahuan. Jadi biasanya mutiara Indonesia itu diolah menjadi perhiasan tetapi tidak di Indonesia, tetapi di Jepang, Korea Selatan dan China. Kemudian setelah diolah di sana dikembalikan ke Indonesia dengan harga jual jauh lebih mahal. Salah satu penyebabnya, kita masih kekurangan ahli perhiasan,” katanya. Dian Yuniarni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar