Senin, 04 November 2013

Sawit Paling Siap Jadi Biodiesel

Kelapa sawit salah Satu komoditas Paling potensial Sebagai sumber Biodiesel. Saat ini Luas perkebunan Sawit mencapai Sekitar 8,9 juta hektar (ha) dengan produksi Minyak sawit mentah (cpo) sebanyak 22,3 Juta ton. Apabila 25% Dikonversi untuk Penyediaan biodiesel,  Tidak kurang 5,05 juta Kiloliter (kl) dapat Dihasilkan.
 
foto: Bimo
 Saat ini Indonesia harus mengimpor 5 juta KL solar per tahun untuk mencukupi kebutuhan solar dalam negeri yang mencapai 16 juta KL.  Peraturan ESDM No.25 Tahun 2013 berisi kewajiban produsen untuk menaikkan prosentase campuran bahan bakar nabati (BBN) yaitu biodiesel, bioetanol, dan minyak sawit murni dalam minyak solar menjadi 10%. Jika campuran tersebut 100% berbasis sawit dengan asumsi 25% lahan sawit diperuntukkan bagi BBN, maka untuk memenuhi target itu diperlukan 1,6 juta KL biodiesel, setara dengan 2,6 juta ha kebun sawit.

Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengungkapkan, paket kebijakan ekonomi untuk Kementerian Pertanian dalam rangka mengurangi impor bahan bakar minyak ( BBM) yakni meningkatkan pengembangan bioenergi. “Bioenergi paling siap saat ini berasal dari kelapa sawit. Yang lain juga ada potensi seperti jarak pagar dan kemiri sunan. Lagipula pasokan CPO melimpah di dalam negeri dan tidak berkompetisi untuk kebutuhan pangan,” kata Rusman.

Menurutnya, persoalan sekarang adalah mengemas kebijakan ini dalam satu kegiatan yang terintegrasi secara utuh, dari sektor hulu hingga hilir. Di hulu harus ada insentif berupa alokasi CPO untuk memenuhi kebutuhan energi. Ada kompetisi, baik di perkebunan sawit rakyat, perkebunan sawit besar dan PTPN yang lebih menyukai ekspor CPO dibandingkan untuk memenuhi pasokan biodiesel di dalam negeri.

“Jadi harus ada kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk biodiesel. Ini bukan menjadi pilihan, namun menjadi komitmen bagi pelaku sawit untuk menyediakan keberlanjutan bahan baku biodiesel,” ujar Rusman. Apalagi pengguna biosolar sudah ada dan dijamin oleh pemerintah karena mandatory biodiesel mencapai 10%. Oleh karena itu, katanya, dibutuhkan ketegasan mengenai jaminan suplai CPO dalam negeri. Bentuknya bisa berupa DMO atau pajak ekspor progresif. Ini penting agar ada jaminan CPO untuk dalam negeri. Soalnya kalau harga CPO internasional bagus, pelaku usaha lebih memilih CPO
diekspor ke luar negeri. 

Masalah distribusi, permasalahan bukan di tingkat konsumen. Untuk kendaraan mobil tidak ada masalah menggunakan biosolar. Hanya tinggal lokasi agar konsumen dapat memperoleh biosolar. “PT Pertamina juga menjadi faktor kunci untuk memfasilitasi distribusi biodiesel agar konsumen dapat menggunakannya,” tandasnya.

Selain itu, pemerintah berencana mengembangkan model perkebunan energi terintegrasi. Ini dibuat ketika investor baru ingin membuka kebun sawit. Ke depan kelapa sawit diintegrasikan untuk industri biosolar yang memiliki produktivitas tinggi. “Kalau didesain dari awal untuk industri biosolar, maka segala upaya akan difokuskan pada satu hal yaitu bagaimana menghasilkan kelapa sawit yang memiliki produktifitas tinggi untuk menghasilkan biosolar,” katanya.

Oleh karena itu, penelitian saat ini sedang difokuskan untuk  mendapatkan bibit kelapa sawit yang  sesuai dengan kriteria yang telah disebutkan di atas, yaitu mampu menghasilkan biosolar tinggi. Di sektor hulu, kebijakan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan integrasi perkebunan kelapa sawit yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan biosolar. Dengan cara ini maka akan ada jaminan pasokan, baik untuk industri hilir CPO maupun untuk industri biosolar

“Harus ada instrumen yang menjamin pasokan biofuel dari kelapa sawit. Bisa dengan cara pengenaan bea keluar khusus untuk CPO, sementara di hulu adanya perkebunan yang terintegrasi khusus untuk memenuhi pasokan biosolar,” tegasnya.

Rusman mengatakan, mungkin saja perlu permentan yang secara khusus mengatur pengajuan ijin baru perkebunan sawit untuk memenuhi kebutuhan biosolar. “Mungkin saja. Kalau moratorium sudah selesai, ada permentan  yang menyatakan ijin baru perkebunan sawit hanya untuk biosolar. Ini supaya ada kenyamanan atau kepastian bahan baku bagi pengembang biosolar dalam negeri,” paparnya.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Susilo Siswoutomo menambahkan, pengembangan bioenergi merupakan langkah penting untuk mendukung paket kebijakan ekonomi pemerintah terkait pemakaian biodiesel. Ini bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin guna mendukung target pemerintah  mengurangi ketergantungan Indonesia  terhadap impor BBM. “Itu cara satu-satunya buat kita  mengurangi impor BBM yang makin tinggi. Lantaran produksi minyak bumi dalam negeri terus turun,” ujar
Susilo usai menghadiri Workshop Pengembangan Bioenergi Nasional di Hotel Borobudur.

Sementara itu, Indonesia mempunyai lahan dan sumber daya alam untuk mengembangkan bioenergi dari sawit, kemiri sunan, jarak pagar dan tebu. Untuk itu harus ada kerjasamaa antar kementerian agar program ini dapat berjalan dengan baik. “Selain itu, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah dengan pengusaha. Para produsen biodiesel dapat untung dan pemerintah dapat menyediakan energi kepada masyarakat dengan harga terjangkau, jumlah yang cukup dan menguatkan perekonomian,” tambahnya.

Menurutnya, target penggunaan biodiesel 10% pada 1 januari 2014 harus dilaksanakan di sektor transportasi dan industri. Semua mesin kendaraan bisa beradaptasi menggunakan biosolar. Kemudian dapat dinaikkan menjadi 20%, itu tergantung dari kesiapan para produsen biodiesel.

Susilo mengatakan, kebutuhan solar pada sektor transportasi saja 16 juta KL tiap tahun. 10% saja sudah 1,6 juta KL. Kebutuhan terhadap solar PT PLN sekitar 6-7 juta KL. Kalau 20% dibutuhkan biodiesel 1,8 juta KL. Sektor industri membutuhkan 11 juta  KL. “Jadi tahun depan PT Pertamina  membutuhkan 3,9 juta KL biodiesel melalui sistem tender. Ini dapat mengurangi beban impor minyak 90.000 barrel per hari,” ujarnya.

Susilo mengingatkan, semua produsen biodiesel tidak boleh membeli solar dan biodiesel dari Malaysia kemudian dicampur menjadi biosolar, dan lantas diimpor ke Indonesia. Kegiatan itu tidak diizinkan. “Jadi semua biodiesel harus dibeli dan dicampur di dalam negeri. Kalau ada apa-apa laporkan. Kita cabut izin usahanya,” katanya.

Immanuel Sutarto Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APBROBI) mengatakan, adanya aturan baru PT Pertamina bakal melakukan tender untuk pengadaan biodiesel ini memberatkan sebagian produsen biodiesel. Masalahnya, diambil harga terendah. Kekhwatiran para produsen biodiesel yang tidak mempunyai kebun sawit untuk bahan baku kalah bersaing.

Produsen meminta agar Pertamina mempertimbangkan lokasi pabrik biodiesel, karena banyak pabrik biodiesel di Jawa Timur harus mengirim ke Jawa Tengah atau dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. “Ini menambah biaya transportasi sebesar Rp 350-400 per liter,” tukasnya.

Menurutnya, adanya usulan kebijakan DMO ini penting agar dapat memaksimalkan biodiesel untuk mensubstitusi BBM impor. Untuk itu para produsen biodiesel harus menjual ke dalam negeri terlebih dahulu dibandingkan diekspor.  “Sebelumnya para produsen lebih mengutamakan ekspor karena permintaan dalam negeri rendah. Tahun 2012 ekspor biodiesel mencapai 1,4 juta KL, sedangkan pemakaian di dalam negeri hanya sekitar 700.000 KL,” tambahnya.

Sektor industri dan pertambangan sudah diwajibkan menggunakan biodiesel,. Diperkirakan penyerapan untuk dalam negeri bisa mencapai 1 juta KL. Tahun ini kapasitas terpasang biodiesel mencapai 4,2 juta KL. “Sementara produksi baru 2,1 juta kiloliter, artinya 50% pabrik biodiesel masih idle capacity. PT Eterindo menyuplai biodiesel ke Pertamina diperkirakan mencapai 80.000 KL dibandingkan tahun lalu hanya 63.000 kilo liter,” ujar Sutarto yang juga menjabat Direktur Utama PT Eterindo Wahanatama Tbk itu.

Sutarto mengatakan, setiap bulan ada permintaan sekitar 8.000-9.000 KL. Perusahaan juga membangun kebun sawit 40.000 ha dan tahun 2015 tertanam 24.000 ha di Pontianak, Kalimantan Barat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel. Selain itu, perusahaan menjual biodiesel ke Shell dan industri pertambangan.
           
Sekretaris Jenderal Aprobi, Paulus Tjakrawan menambahkan, kapasitas terpasang biodiesel tahun ini mencapai 5,6 juta KL. Penggunaan biodiesel di dalam negeri tersebar di Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan untuk sektor industri, transportasi dan pertambangan. Harga solar industri  sebesar Rp 9.000 per liter dan biodiesel sebesar Rp 8.300 per liter. Sampai sekarang harga biodiesel lebih murah dibandingkan harga solar.

“Produksi biodiesel hinga tahun 2012 sebesar 2,2 juta KL, dimana 1,5 juta KL itu diekspor. Sebagian besar ekspor ke Eropa, kendati sekarang sedang memperoleh tuduhan subsidi dan dumping biodiesel,” ungkapnya. Paulus mengatakan, penyerapan biodiesel di dalam negeri hingga akhir tahun diperkirakan mencapai 800.000 KL, naik dibandingkan dengan tahun 2012  sebanyak 670.000 kilo liter. Jika tahun depan 30% biodiesel diperlukan 20 juta KL. Produsen siap menyuplai biodiesel untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Tantangan sekarang adalah lokasi untuk mendistribusikan biodiesel. Pabrik biodiesel kebanyakan berada di Sumatera dan Jawa. Ketika ingin didistribusikan ke Kalimantan akan menaikkan biaya produksi. Apalagi Infrastruktur dan hambatan perdagangan internasional masih menghantui industri ini,” pungkas Paulus.  beledug bantolo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar