foto: lst |
Saat ini indonesia dibanjiri Produk Pangan impor. Ini ironi. Pemerintah cenderung kalah dengan Mafia Pangan. Jika tidak ingin kian terpurik, pemerintah harus membuat Stok Pangan nasional dan memperbaiki tata niaga.
Ketua Dewan Pembina Masyarakat
Agrobisnis Indonesia (MAI) Adi Sasono mengatakan, saat ini terjadi ironi di
sektor pertanian. Indonesia pernah sukses mewujudkan swasembada, tetapi
sekarang justru sebaliknya impor pangan. “Dahulu kita swasembada kedelai, malah
sekarang bergantung pada kedelai impor mencapai 70 persen. Di tahun 1998, tidak
ada impor jagung dan beras, sekarang justru impor,” ujarnya.
Menurutnya,
ketidakpedulian pemerintah menyebabkan terjadinya penurunan kinerja
pertanian dan pangan. Permasalahan pertanian tidak hanya pada budidaya, namun
tata niaga. Baru-baru ini harga kedelai naik menjadi
Rp 8.500 per kilogram (Kg). Tiga bulan lalu
panen di PD Jaya harga jualnya Rp 5.000 per Kg. Padahal ongkos dari PD Jaya ke Jakarta hanya Rp 800 per Kg. Ini
terjadi lantaran ada informasi yang tidak simetris.
Sekarang dibutuhkan
sistem informasi pertanian untuk mengetahui kapan waktu tanam, stok pangan, dan
harga. Ini mampu mengurangi peranan tengkulak yang biasa menindas petani. Petani
pun terkadang sudah terikat oleh sistem ijon. Pemerintah harus mempunyai stok
minimum 10% dari kebutuhan nasional. “Produksi beras 30 juta ton, dan minimal
di gudang Perum Bulog sebanyak 3 juta
ton,” tambahnya.
Adi menyebutkan, di
negara-negara Asean saja rata-rata minimal
20% untuk stok pemerintah. Bahkan di Thailand sampai
60%. Jadi kalau terjadi kelangkaan, pemerintah
bisa terjun menstabilkan harga. Permasalahan sekarang,
pemerintah Indonesia tidak memiliki stok.
Menurutnya, di
Indonesia terjadi namanya kelangkaan semu, yakni kelangkan yang dibuat-buat. Barangnya
ada, disimpan, baru dijual ketika barang langka. Begitu juga pada komoditas
daging sapi, pemerintah putus asa untuk menanggulangi harga, lalu diserahkan
semuanya boleh impor sapi.
Dia menambahkan, sapi
impor datang tidak langsung dipotong dirumah pemotongan hewan (RPH), tapi sedikit demi
sedikit dipotong agar harganya tinggi. Kelangkaan itu diciptakan. Jika
pemerintah mempunyai stok, langsung bisa digelontorkan ke masyarakat. Tugas pemerintah
untuk membela kaum masyarakat kecil.
“Ada kecenderungan pemerintah kalah
dengan importir dan kartel pangan. Buktinya sekarang harga kedelai masih mahal,
padahal harga pokok kedelai hanya Rp 5.000 per Kg,” tukasnya.
Di Aceh bisa
memproduksi 2 ton per hektar (ha) dan harga pokoknya hanya Rp 1.200 per Kg. “Masalah
produksi memang harus ditingkatkan. Namun mendesak sekarang pemerintah harus menguasai
tata niaga dan membuat stok untuk mengurangi resiko kelangkaan,” paparnya.
Menurutnya, ini aneh. Negara tidak berdaya
menghadapi mafia pangan. Ini menyengsarakan rakyat. Di sektor budidaya masalah
kelangkaan benih, pupuk dan pestisida sering diusut tapi tidak ada hasilnya.
Jadi petani ketika masuk musim tanam benihnya tidak ada dan pupuk terlambat,
padahal produksi berjalan terus. “Permainan ini, tidak bisa dibuktikan secara
hukum,” tukasnya.
Apalagi, kata Adi,
produk pangan impor mutunya rendah. Jagung dan kedelai itu di asal negaranya
untuk feedmilk dan pakan ternak. Gagalnya pencapaian target pemerintah
untuk swasembada padi, kedelai, jagung,
gula dan daging sapi tahun 2014 itu bukan masalah produksi dan kemampuan.
Sebab, katanya, pada abad 14 yang lalu peradaban Sriwijaya itu berasal dari surplus
pertanian. Ketika itu tidak ada HPH, minyak dan gas dan Bank Dunia. Buktinya
mampu menguasai Asia Tenggara. Begitu pula Kerajaan Majapahit menjadi besar karena
pertanian. Kedatangan VOC itu juga mengembangkan pertanian.
Menurutnya, Indonesia
sudah merdeka, mempunyai teknologi, semestinya jauh lebih hebat dibandingkan
yang dicapai oleh Sriwijaya, Majapahit maupun Belanda ketika menjajah. Kalau
tidak berhasil bukan faktor objektif, namun karena ketidakmampuan untuk
mengelola sektor pertanian. “Ini mengakibatkan target swasembada pangan tidak bakal
terwujud pada tahun 2014,” tandasnya.
Ada masalah besar
yang dihadapi di sektor pertanian. Keterlambataan
pupuk dan benih ketika masuk masa tanam
itu terkait anggaran di Kementerian Keuangan. Masalah tata niaga juga akibat
longgarnya impor pangan di Kementerian Perdagangan.“Jadi masalah utamanya ada
di antara kementerian,” tambahnya.
Menurutnya, ke
depan untuk membangun pertanian harus
dimulai dengan semangat kebangsaan. Agar bangsa ini tidak menjadi bangsa pecundang
dalam urusan pangan, tetapi bangsa yang harus berdaulat pangan. Apalagi
sekarang Indonesia mengalami defisit pangan karena lebih besar impor
dibandingkan ekspor pangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar