Rabu, 30 Oktober 2013

Adi Sasono: Negara Kalah Hadapi Mafia Pangan

                                                                                   foto: lst



Saat ini indonesia dibanjiri Produk Pangan impor. Ini ironi. Pemerintah cenderung kalah dengan Mafia Pangan.  Jika tidak ingin kian terpurik, pemerintah harus membuat Stok Pangan nasional dan  memperbaiki tata niaga.




Ketua Dewan Pembina Masyarakat Agrobisnis Indonesia (MAI) Adi Sasono mengatakan, saat ini terjadi ironi di sektor pertanian. Indonesia pernah sukses mewujudkan swasembada, tetapi sekarang justru sebaliknya impor pangan. “Dahulu kita swasembada kedelai, malah sekarang bergantung pada kedelai impor mencapai 70 persen. Di tahun 1998, tidak ada impor jagung dan beras, sekarang justru impor,” ujarnya.

Menurutnya, ketidakpedulian pemerintah menyebabkan terjadinya  penurunan kinerja pertanian dan pangan. Permasalahan pertanian tidak hanya pada budidaya, namun tata niaga. Baru-baru ini harga kedelai naik menjadi Rp 8.500 per kilogram (Kg). Tiga bulan lalu panen di PD Jaya harga jualnya Rp 5.000 per Kg. Padahal ongkos dari PD Jaya ke Jakarta hanya Rp 800 per Kg. Ini terjadi lantaran ada informasi yang tidak simetris.

Sekarang dibutuhkan sistem informasi pertanian untuk mengetahui kapan waktu tanam, stok pangan, dan harga. Ini mampu mengurangi peranan tengkulak yang biasa menindas petani. Petani pun terkadang sudah terikat oleh sistem ijon. Pemerintah harus mempunyai stok minimum 10% dari kebutuhan nasional. “Produksi beras 30 juta ton, dan minimal di gudang  Perum Bulog sebanyak 3 juta ton,” tambahnya.

Adi menyebutkan, di negara-negara Asean saja rata-rata minimal 20% untuk stok pemerintah. Bahkan di Thailand sampai 60%. Jadi kalau terjadi kelangkaan, pemerintah bisa terjun menstabilkan harga. Permasalahan sekarang, pemerintah Indonesia tidak memiliki stok.

Menurutnya, di Indonesia terjadi namanya kelangkaan semu, yakni kelangkan yang dibuat-buat. Barangnya ada, disimpan, baru dijual ketika barang langka. Begitu juga pada komoditas daging sapi, pemerintah putus asa untuk menanggulangi harga, lalu diserahkan semuanya boleh impor sapi.

Dia menambahkan, sapi impor datang tidak langsung dipotong dirumah pemotongan hewan (RPH),  tapi sedikit demi sedikit dipotong agar harganya tinggi. Kelangkaan itu diciptakan. Jika pemerintah mempunyai stok, langsung bisa digelontorkan ke masyarakat. Tugas pemerintah untuk membela kaum masyarakat kecil.

“Ada kecenderungan pemerintah kalah dengan importir dan kartel pangan. Buktinya sekarang harga kedelai masih mahal, padahal harga pokok kedelai hanya Rp 5.000 per Kg,” tukasnya.

Di Aceh bisa memproduksi 2 ton per hektar (ha) dan harga pokoknya hanya Rp 1.200 per Kg. “Masalah produksi memang harus ditingkatkan. Namun mendesak sekarang pemerintah harus menguasai tata niaga dan membuat stok untuk mengurangi resiko kelangkaan,” paparnya.

Menurutnya, ini aneh. Negara tidak berdaya menghadapi mafia pangan. Ini menyengsarakan rakyat. Di sektor budidaya masalah kelangkaan benih, pupuk dan pestisida sering diusut tapi tidak ada hasilnya. Jadi petani ketika masuk musim tanam benihnya tidak ada dan pupuk terlambat, padahal produksi berjalan terus. “Permainan ini, tidak bisa dibuktikan secara hukum,” tukasnya.

Apalagi, kata Adi, produk pangan impor mutunya rendah. Jagung dan kedelai itu di asal negaranya untuk feedmilk dan pakan ternak. Gagalnya pencapaian target pemerintah untuk swasembada  padi, kedelai, jagung, gula dan daging sapi tahun 2014 itu bukan masalah produksi dan kemampuan. Sebab, katanya, pada abad 14 yang lalu peradaban Sriwijaya itu berasal dari surplus pertanian. Ketika itu tidak ada HPH, minyak dan gas dan Bank Dunia. Buktinya mampu menguasai Asia Tenggara. Begitu pula Kerajaan Majapahit menjadi besar karena pertanian. Kedatangan VOC itu juga mengembangkan pertanian.

Menurutnya, Indonesia sudah merdeka, mempunyai teknologi, semestinya jauh lebih hebat dibandingkan yang dicapai oleh Sriwijaya, Majapahit maupun Belanda ketika menjajah. Kalau tidak berhasil bukan faktor objektif, namun karena ketidakmampuan untuk mengelola sektor pertanian. “Ini mengakibatkan target swasembada pangan tidak bakal terwujud pada tahun 2014,” tandasnya.

Ada masalah besar yang dihadapi di sektor pertanian. Keterlambataan
pupuk dan benih ketika masuk masa tanam itu terkait anggaran di Kementerian Keuangan. Masalah tata niaga juga akibat longgarnya impor pangan di Kementerian Perdagangan.“Jadi masalah utamanya ada di antara kementerian,” tambahnya.

Menurutnya, ke depan  untuk membangun pertanian harus dimulai dengan semangat kebangsaan. Agar bangsa ini tidak menjadi bangsa pecundang dalam urusan pangan, tetapi bangsa yang harus berdaulat pangan. Apalagi sekarang Indonesia mengalami defisit pangan karena lebih besar impor dibandingkan ekspor pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar