foto: Bimo |
Malaysia dan Venezuela memiliki undang-undang
yang mengatur batas maksimal harga bahan pangan. Ketika ada gejolak harga,
konsumen tidak dirugikan dengan kenaikan yang terlalu ekstrem. Menteri
Perdagangan Gita Wirjawan mengaku siap mempelajari aturan di kedua negara itu
supaya bisa diterapkan di Indonesia. Syaratnya, problem pasokan dari dalam
negeri bisa dioptimalkan.“Kita mau jaga stabilitas harga dengan pematokan harga
di level tertentu. Itu sangat mulia. Tapi kalau pasoknya sulit, ini agak sulit juga
untuk segala pemangku kepentingan,” kata Gita pada Agrofarm di
kantornya.
Sebelum meniru aturan dua negara
itu,pasokan harus lancar. Gita mengakui ketergantungan terhadap impor tidak bisa
dihindari lantaran ketersediaan barang di dalam negeri tidak maksimal dan tidak
mampu memenuhi kebutuhan. Alhasil, untuk sementara fokus pemerintah dalam
menstabilkan harga adalah memperlancar arus impor ketika harga melonjak.“Harga bisa dijangkau tapi
barangnya enggak ada. Nah ini gimana bisa mendatangkan harganya.
Barangnya kan kalau enggak ada di dalam negeri harus didatangkan
dari luar negeri. Nah kalau didatangkan dari luar negeri ini fasilitasi
izinnya juga harus lancar,” paparnya.
Mendag berjanji, jika situasi
sudah lebih kondusif, pihaknya siap mempelajari aturan batas atas harga pangan,
agar konsumen terlindungi. “Ke sananya saya rasa konsep itu bisa dipelajari,”
tandasnya.
Salah satu fenomena di Indonesia
yang selalu terjadi setiap tahun adalah kenaikan harga sejumlah komoditas atau
bahan pangan. Selain daging sapi yang tidak kunjung lengser dari level Rp
95.000 per kilogram sejak akhir 2012, bahan pokok lain seperti cabe rawit dan
bawang merah berulang kali naik turun. Demikian pula nasib telur ayam, beras,
dan daging ayam.
Sebagai perbandingan, Malaysia
memiliki The Price Control Act yang isinya mengontrol harga barang
mayoritas bahan pangan. Beleid di Negeri Jiran itu mengatur harga 225 jenis kebutuhan
sehari-hari warga dan 25 komoditas supaya harganya stabil menjelang hari-hari
besar seperti Lebaran. Malaysia juga memiliki Majelis Harga Negara yang
memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan menghitung cadangan pangan
nasional.
Namun di Indonesia, setiap tahun
defisit tujuh komoditas pangan utama nasional terus meningkat. Pada 2011,
volume impor beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, dan daging mencapai
17,6 juta ton senilai USD 9,4 miliar. Defisit pangan tahun 2011 mencapai 17,35
juta ton dengan nilai USD 9,24 miliar (mendekati 90 triliun rupiah) karena
ekspor hanya 250 ribu ton dengan nilai USD 150 juta.
Lebih rinci, Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan, impor berasIndonesia mencapai 2,75 juta ton dengan
nilai USD 1,5 miliar atau 5% dari total kebutuhan dalam negeri, impor kedelai
mencapai 60% dari total konsumsi dalam negeri sekitar 3,1 juta ton dengan nilai
USD 2,5 miliar, jagung sebesar 11% dari konsumsi 18,8 juta ton senilai USD 1,02
miliar, gandum (100%, USD 1,3 miliar), gula putih (18%, USD 1,5 miliar), daging
sapi (30%, USD 331 juta), dan susu (70%). Dian Yuniarni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar